Di Halmahera Timur, Maluku Utara, ada sebuah jalan di hutan yang lahir tanpa catatan kelahiran. Tak ada dalam peta, tak ada dalam kontrak, bahkan tak terdeteksi satelit pada Februari 2024. Namun tiba-tiba, beberapa bulan kemudian, jalan itu sudah ada, membelah hutan dengan lebar variatif hingga lebih dari seratus meter. Jalan yang mestinya hanya koridor angkutan hasil hutan milik Wana Kencana Sejati alias WKS, itu kini jadi jalan sekaligus garapan nikel milik PT Position (selanjutnya disingkat POS).
Tapi, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, jalan yang merusak hutan dan tanahnya itu malah didakwakan ke pihak lain. Dua orang karyawan PT Wana Kencana Mineral atau WKM, didakwa jaksa atas laporan POS---pihak yang semestinya bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Desa Maba Halmahera Timur. Kerusakan lingkungan yang terjadi, bukan cuma karena ada jalan yang membelah hutan, dan dilebarkan dengan lebar variative 40 meter hingga hampir seratus meter. Tapi juga karena POS mengeruk tanah hingga mencapai puluhan meter. Dugaannya, demi mengambil ore nikel.
Nikel, memang jadi primadona belakangan ini. Buat pengusaha, termasuk petinggi negeri, nikel adalah komoditas mendapat cuan alias untung berlipat. Nikel, adalah bahan untuk pembuatan baja sampai batere mobil listrik dan gadget, termasuk telpon seluler hingga laptop. Banyak perusahaan Tiongkok yang berinvestasi di Indonesia, demi nikel. Termasuk POS.Â
Pencemaran Akibat EksplorasiÂ
Awal mulanya, ada perjanjian yang ditandatangani pada 12 Februari 2024. Antara Wana Kencana Sejati alias WKS sebagai pemilik hak pengelolaan hutan---dari negara---dengan POS Â yang ingin menggunakan jalan pengangkut hasil hutan milik WKS. POS boleh memakai jalan di dalam konsesi WKS untuk hauling ore alias bijih nikel. Syaratnya, jalan tidak boleh dilebarkan lebih dari 40 meter lebar maksimal, dan tidak membuka jalan baru. Syarat ini diikat Peraturan Menteri LHK Nomor 8 Tahun 2021.
Masalah terendus setelah masyarakat adat Maba Sangaji, masyarakat asli Halmahera Timur, melaporkan adanya pencemaran Sungai Sangaji. Sungai yang jadi ibu dan induk bagi masyarakat adat itu, tercemar tanah dan kotoran yang diduga hasil pengerukan tanah hasil eksplorasi POS untuk melebarkan jalan yang semestinya dilarang dari perjanjian dengan PT WKS.
Di sinilah, PT Wana Kencana Mineral atau WKM, muncul. Karena dipanggil Kementerian ESDM, Kementerian LHK dan kepolisian yang berada dalam payung penegakan hukum. WKM yang dituduh mengajak penyelidikan bersama alias joint investigation. Hasil investigasi menyebutkan adanya pencemaran di sisi dekat eksplorasi POS. Hasil investigasi itu juga menyebutkan, ada jalan yang dilebarkan POS masuk ke wilayah WKM.
Maka, sebetulnya, penegakan hukum sudah punya kelengkapan, pelanggaran yang dilakukan POS. Tapi, memang di sini, siapa yang kuat yang berkuasa. Alih-alih menindak POS, Mabes Polri malah menuduh PT WKM melanggar dua undang-undang, Kehutanan, dan KUHP. Mabes Polri ikut masuk ke masalah ini karena laporan POS yang tak senang WKM memasang portal di lahannya sendiri. Menurut POS portal itu mengganggu pekerjaannya. Meski, sekali lagi, jalan yang dilalui, sudah dikeruk dan dilebarkan oleh POS. Di atas jalan yang bukan milik POS, diduga juga mengambil bijih nikel konsesi WKM.Â
Kriminalisasi terhadap Masyarakat Maba dan WKM
Awal 2025, masalah ini masuk ke ruang publik. DPRD Halmahera Timur mengundang PT Wana Kencana Mineral alias WKM untuk rapat dengar pendapat, menjawab keluhan warga tentang Sungai Sangaji yang keruh. Warga mengeluh gatal-gatal, air minum tak lagi layak, ikan di muara hilang. "Kami mandi gatal-gatal, anak-anak sakit kulit. Kalau ada uang kami beli galon, kalau tidak, terpaksa pakai juga air sungai," ujar seorang ibu rumah tangga dalam forum itu. Seorang nelayan menambahkan, "Ikan sudah jarang. Sungai penuh lumpur. Kami tidak tahu siapa yang salah, yang jelas kami yang kena akibat."
Merespons undangan DPRD, WKM menurunkan drone ke selatan konsesinya. Dari udara, terbongkar pemandangan mencurigakan: sebuah jalan baru sepanjang 1,2 km, bukaan lahan 7,3 hektar, dan jejak excavator serta dumptruck. Lebih jauh, terlihat aktivitas pendalaman material nikel laterit dengan pola yang hanya bisa dilakukan oleh alat berat. Laporan Gakkum Kehutanan yang turun ke lokasi akhir April 2025 menguatkan dugaan itu: POS membuka koridor tanpa izin, menggali hingga kedalaman 10--15 meter, dan memperluas jalan di atas ketentuan. Negara diduga kehilangan potensi Rp374,9 miliar dari ore yang diambil.