Dulu saya pikir bahagia itu harus punya banyak. Banyak uang, banyak prestasi, banyak pencapaian. Semakin besar sesuatu yang berhasil kita raih, semakin bahagia pula hidup yang kita miliki. Itu yang diajarkan secara tak langsung oleh lingkungan, media sosial, bahkan mungkin oleh orang-orang terdekat kita.
Kita tumbuh dalam budaya yang menjadikan tolak ukur kebahagiaan adalah "apa yang kamu punya" dan "sudah sejauh mana kamu melangkah." Sejak sekolah kita dibiasakan bersaing untuk nilai terbaik, ranking tertinggi, lomba paling bergengsi. Ketika dewasa, berubah jadi kejar setoran: pekerjaan mapan, gelar tinggi, pasangan ideal, rumah besar, dan seterusnya.
Saya pun menjalani hidup dengan pola pikir yang sama. Setiap tahun saya punya target. Harus naik level. Harus punya ini. Harus sampai di sana. Dan memang, ada kepuasan ketika berhasil mencapainya. Rasanya seperti puncak. Tapi yang sering terlupa, puncak itu cepat sekali berubah jadi lembah karena begitu satu target tercapai, muncul target baru yang lebih tinggi. Kita terus mendaki, tanpa jeda.
Sampai suatu ketika, saya mengalami titik lelah.
Bukan lelah fisik. Tapi lelah batin. Semacam kekosongan yang aneh. Saya punya beberapa hal yang dulu saya impikan: pekerjaan yang katanya bergengsi, pendapatan yang cukup, bahkan pencapaian yang sering dapat pujian. Tapi anehnya, saya tidak merasa utuh. Malah sering merasa kosong. Saya mulai mempertanyakan: Apakah ini yang disebut bahagia?
Saya jadi banyak diam. Mengamati orang lain, membaca cerita-cerita hidup yang sederhana tapi hangat. Saya bertemu teman lama yang sekarang tinggal di desa, hidup sederhana, tak terlalu aktif di media sosial, tapi terlihat damai. Dia bilang, "Saya mungkin nggak punya banyak, tapi saya cukup. Dan itu bikin tenang."
Kalimat itu menampar saya pelan.
Selama ini saya sibuk mencari yang besar dan jauh, sampai lupa mensyukuri yang kecil dan dekat. Saya kejar pencapaian luar, tapi lupa merawat kedamaian dalam. Saya kira bahagia itu selalu soal puncak, padahal bisa jadi bahagia justru tinggal di dasar tempat kita bisa merasa cukup, merasa hadir, dan merasa damai.
Bahagia versi kita masing-masing bisa jadi sangat berbeda. Ada yang bahagia saat duduk di pinggir sawah sambil minum kopi. Ada yang bahagia ketika bisa berkumpul utuh bersama keluarga. Ada juga yang bahagia ketika bisa pulang lebih cepat tanpa dibebani pikiran kerjaan. Sederhana, tapi menenangkan.
Kita tidak perlu terus membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain yang terlihat lebih "hebat" di luar sana. Karena seringkali yang terlihat di permukaan hanyalah editan. Kita tak tahu isi perjuangan, luka, dan lelah yang mereka sembunyikan di balik pencapaian mereka.