Mohon tunggu...
welni yunelti
welni yunelti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis bagiku adalah jendela kehidupan yang dimana tempat saya menuangkan sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Berharap Berlebihan Itu Tidak Baik: Ketika Harapan Jadi Luka

15 Juli 2025   11:38 Diperbarui: 15 Juli 2025   11:38 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
input foto: dua tangan yang sedang merobek foto pasangan yang terlihat sedang berpelukan (freepik/ilustrasi)

Manusia hidup dengan harapan. Kita melangkah setiap hari karena percaya bahwa sesuatu yang baik akan datang. Harapan menjadi semacam bensin bagi jiwa memberi arah, memberi semangat, dan menyulut keinginan untuk terus berjuang. Tapi sering kali, kita lupa bahwa harapan tidak selalu menjamin hasil yang sesuai. Kenyataan bisa berbeda, dan perbedaan itu bisa melukai lebih dalam daripada sekadar kegagalan.

Saya pernah berada di titik itu di mana harapan saya kepada seseorang begitu tinggi, seolah dia adalah pusat semesta saya. Saya pikir, jika saya cukup baik, cukup setia, dan cukup tulus, maka semuanya akan berakhir bahagia. Tapi hidup tidak pernah menjamin bahwa cinta yang tulus akan dibalas dengan kesetiaan. Dia pergi, dan saya dibiarkan sendiri, bukan hanya dengan rasa kehilangan, tapi juga dengan luka dari harapan yang saya bangun sendirian.

Berharap itu bukan kesalahan. Semua manusia melakukannya. Yang menjadi masalah adalah ketika kita berharap secara berlebihan, tanpa menyadari batas antara kenyataan dan keinginan. Kita mulai mengandalkan orang lain untuk menjadi sumber utama kebahagiaan, lalu kecewa ketika mereka tidak bertindak seperti yang kita inginkan. Kita lupa bahwa orang lain punya hidup, kehendak, dan pilihan mereka sendiri yang tidak bisa kita kendalikan.

Dalam hubungan apapun baik cinta, persahabatan, maupun keluarga berharap terlalu banyak sering kali menjadi pintu awal luka. Kita berharap mereka mengerti tanpa perlu dijelaskan. Kita berharap mereka hadir di saat kita membutuhkan, padahal mereka mungkin sedang bergulat dengan masalah mereka sendiri. Kita berharap mereka tetap tinggal, padahal mereka mungkin tidak pernah berniat menetap sejak awal. Kita menyusun skenario indah dalam kepala, lalu merasa hancur ketika kenyataan berjalan berbeda. Di situlah harapan bisa berubah menjadi beban.

Bahkan dalam hal-hal besar dalam hidup, seperti pendidikan dan karier, harapan bisa menjadi pedang bermata dua. Kita berharap diterima di kampus impian, mendapat pekerjaan sesuai passion, hidup berjalan sesuai rencana. Tapi kenyataan tidak selalu berpihak. Terkadang kita ditolak. Terkadang yang kita inginkan malah menjauh. Dan yang lebih menyakitkan, kita mulai menyalahkan diri sendiri karena merasa gagal memenuhi ekspektasi, padahal sering kali kegagalan itu bukan karena kita kurang baik, melainkan karena waktunya belum tiba.

Lantas, apakah itu berarti kita harus berhenti berharap? Tentu tidak. Harapan adalah sesuatu yang esensial dalam hidup. Tanpa harapan, hidup akan terasa hampa. Tapi kita perlu belajar untuk menaruh harapan secara bijak. Jangan mengikatkan kebahagiaan kita sepenuhnya pada hal yang tidak bisa kita kendalikan. Harapan yang sehat adalah harapan yang tumbuh dari usaha, bukan sekadar khayalan. Harapan itu perlu diiringi dengan kesiapan hati untuk menerima hasil apapun baik yang sesuai keinginan maupun tidak. Bukan untuk pasrah, tapi untuk tetap waras saat hidup memberi kejutan yang tak kita harapkan.

Saya belajar bahwa harapan paling aman adalah harapan kepada diri sendiri dan kepada Tuhan. Ketika saya berharap pada orang lain, saya usahakan untuk tidak menjadikan mereka satu-satunya tumpuan. Ketika saya berharap pada masa depan, saya selalu menyiapkan rencana cadangan. Dan ketika saya berharap pada cinta, saya tahu bahwa cinta yang sehat bukanlah tentang bergantung, tapi tentang saling tumbuh, saling memberi ruang, dan saling menguatkan. Harapan boleh besar, tapi hati harus tetap siap menerima bahwa tidak semua hal bisa dikontrol oleh keinginan.

Ikhlas bukan berarti tidak peduli. Ikhlas adalah seni melepaskan hal-hal yang tidak bisa dipaksa untuk tetap tinggal. Kadang, dengan mengurangi ekspektasi, kita justru menemukan ketenangan. Karena kita tidak lagi menggantungkan kebahagiaan pada orang, pada hasil, atau pada waktu. Kita belajar menerima, bukan menyerah. Kita mulai melihat bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang kita dapatkan, tapi tentang bagaimana kita merespons apa pun yang terjadi.

Berharap secukupnya membuat kita lebih kuat. Kita bisa tetap mencintai meski tak memiliki. Kita bisa tetap peduli meski tak dianggap. Kita bisa tetap melangkah meski tujuan tak kunjung tercapai. Dan yang paling penting, kita bisa tetap bersyukur meski hidup tak selalu mudah. Karena pada akhirnya, yang membuat kita bertahan bukanlah terpenuhinya semua harapan, tapi kebesaran hati untuk menerima apa pun yang diberikan.

Hari ini, saya masih punya harapan. Tapi saya belajar untuk berharap lebih sadar, lebih bijak, dan lebih siap. Saya tidak lagi ingin menggantungkan kebahagiaan saya pada sesuatu yang rapuh. Saya ingin berharap dengan kaki yang tetap berpijak, agar jika suatu hari harapan itu tak jadi kenyataan, saya masih tetap bisa berdiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun