Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Indonesia Penghasil Sawit Terbesar Dunia, Kenapa Harga Minyak Goreng Belum Turun?

1 Februari 2022   14:51 Diperbarui: 1 Februari 2022   14:56 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan.(Sinar Mas Agribusiness and Food via kompas.com)

Outlook komoditas batubara di tahun ini diproyeksikan tidak akan lebih baik dibanding tahun lalu. Walaupun harga batubara mengalami rally penguatan di awal kuartal tahun ini, ke depan harganya diproyeksikan perlahan akan melandai. 

Harga karet dan kopi sangat fluktuatif dan dipengaruhi oleh siklus boom-and-bust di pasar internasional. Tetapi selama barang-barang tersebut tidak termasuk dalam kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat, maka pemerintah cenderung menyerahkan harga-harganya kepada pasar bebas untuk ditentukan berdasarkan prinsip permintaan dan penawaran. 

Namun, pemerintah harus melakukan intervensi, melalui berbagai langkah, di pasar komoditas yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat seperti bensin, beras, dan baru-baru ini minyak goreng, untuk mengendalikan inflasi yang biasanya paling memukul segmen penduduk termiskin. Ini adalah ekonomi pasar yang dikelola. 

Kita sudah familiar dengan skema stabilisasi harga pemerintah untuk beras, beberapa produk hortikultura dan daging sapi, yang sebagian besar dilaksanakan melalui langkah-langkah nontarif seperti mekanisme kuota impor karena kenaikan harga yang tinggi biasanya disebabkan oleh defisit domestik. 

Namun minyak sawit yang memasok lebih dari 95 persen minyak goreng negara itu berbeda karena Indonesia adalah produsen terbesar dunia, dengan output nasional mencapai 42,6 juta ton dan ekspor 29 juta ton hanya dalam 10 bulan pertama tahun lalu. Padahal, pemerintah memperkirakan 16 juta ton dari total ekspor minyak sawit adalah minyak goreng, sedangkan kebutuhan domestik untuk rumah tangga dan industri hanya sekitar 5,7 juta ton per tahun. 

Masalah muncul setelah harga minyak sawit mencapai rekor tertinggi selama dua tahun terakhir, melayang di atas US$1.000 per ton karena kombinasi dari peningkatan permintaan dan gangguan pasokan di beberapa negara produsen. Harga minyak goreng juga meroket karena perusahaan kelapa sawit lebih memilih mengekspor produknya. 

Pemerintah mencoba mensubsidi harga eceran minyak goreng dengan dana dari Badan Dana Penunjang Kelapa Sawit (BPDPKS), yang sejak 2015 memungut rejeki nomplok atas ekspor minyak sawit. Sayangnya, harga masih jauh di atas batas harga Rp 14.000 (97 sen AS) per liter, tampaknya karena sikap produsen dan pedagang grosir yang tidak kooperatif. 

Ada kecurigaan dari organisasi konsumen bahwa produsen telah terlibat dalam harga seperti kartel di pasar minyak goreng. Jadi, kita memahami mengapa pemerintah, yang prihatin dengan inflasi, memutuskan untuk mengenakan kewajiban pasar domestik (DMO) 20 persen dari ekspor minyak goreng, sementara menetapkan harga minyak sawit mentah (CPO) di Rp 9.300 per kilogram dan olein di Rp 9.300 per kilogram. 10.300 per kg di bawah program DMO. 

Dikutip dari Kompas.id, berdasarkan pantauan tim gabungan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung bersama Satgas Pangan Polda Lampung, Senin (31/1/2022), sejumlah pedagang di Pasar Kangkung, Bandar Lampung, belum menjual minyak goreng dengan harga Rp 14.000 per liter.

Sejumlah pedagang mengaku masih menjual minyak dengan harga Rp 18.000-Rp 20.000 per liter mengikuti harga pembelian dari distributor yang masih tinggi.

"Hari ini kami cek ternyata di Pasar Kangkung baru ada satu toko yang menerima minyak goreng dengan harga baru. Kami langsung menghubungi produsen dan distributor minyak goreng agar segera melakukan percepatan," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung Elvira Umihani saat melakukan peninjauan penerapan kebijakan minyak goreng satu harga di Bandar Lampung, Senin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun