Apa yang akan terjadi jika konten hoaks dibuat puluhan, bahkan ratusan kali, lebih cepat dari kemampuan kita untuk memverifikasi dan menyajikan berita yang benar?Â
Pertanyaan ini bukan lagi skenario fiksi ilmiah, melainkan sebuah ancaman yang semakin nyata di depan mata. Kita sedang bergerak menuju apa yang disebut singularitas sosial: sebuah titik kritis di mana penyebaran informasi palsu menjadi begitu masif, cepat, dan tak terkendali, sehingga kemampuan masyarakat untuk membedakan antara fakta dan fiksi akan lumpuh.
Kasus deepfake Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah contoh nyata dari ancaman ini. Sebuah video palsu yang menampakkan dirinya seolah-olah mengatakan "guru adalah beban negara" menyebar cepat di media sosial. Meskipun pernyataan itu dibantah, kerusakan telah terjadi. Konten palsu ini tidak hanya mengikis kepercayaan publik, tetapi juga turut berkontribusi memicu aksi massa, menunjukkan betapa berbahayanya teknologi ini dalam mengadu domba dan memicu konflik sosial yang nyata.
Fenomena mengerikan ini tidak terjadi begitu saja. Ia adalah produk dari interaksi empat faktor utama yang saling memperkuat, menciptakan badai sempurna disinformasi. Pertama, algoritma media sosial yang didesain untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, justru secara tak sengaja menjadi pendorong utama hoaks. Konten yang provokatif dan emosional, ciri khas hoaks, secara alami mendapatkan dorongan algoritmik, menyebar jauh lebih cepat dari berita faktual yang mungkin kurang "menggairahkan".
Kedua, kita semakin terkunci dalam echo chamber dan filter bubble. Algoritma memanjakan kita dengan menyajikan konten yang memvalidasi pandangan kita sendiri, menciptakan gelembung informasi di mana hoaks yang sesuai dengan keyakinan kita diterima mentah-mentah.
Ketiga, dan mungkin yang paling berbahaya, adalah runtuhnya kepercayaan terhadap institusi tradisional dan percepatan teknologi kecerdasan buatan (AI). Dulu, membuat hoaks butuh usaha. Kini, AI generatif memungkinkan produksi deepfake---gambar, video, atau audio palsu yang sangat realistis---dan bot yang semakin canggih, menyebarkan disinformasi dalam skala dan kecepatan yang tak pernah terbayangkan.
Jika keempat faktor ini terus melaju tanpa intervensi, dampaknya akan menghancurkan. Kita akan kehilangan landasan kebenaran bersama, membuat ilmu pengetahuan, hukum, dan bahkan sejarah menjadi relatif. Masyarakat akan terpolarisasi secara ekstrem, terpecah belah oleh "fakta" versi masing-masing, dan sangat rentan terhadap manipulasi. Kebenaran akan menjadi samar, kabur, dan pada akhirnya, tak lagi relevan.
Ini adalah bencana teknologi dan sosial yang harus kita cegah bersama. Tanggung jawab tidak hanya terletak pada regulator yang harus segera menyusun kerangka hukum yang kuat untuk memaksa platform media sosial bertanggung jawab atas konten yang mereka sebarkan. Perlu ada audit algoritma yang transparan dan independen.
Namun, tanggung jawab terbesar ada pada diri kita masing-masing. Kita harus meningkatkan literasi digital, mengasah kemampuan berpikir kritis, dan membiasakan diri memverifikasi informasi sebelum membagikannya. Mari kita berani keluar dari filter bubble kita, mencari sudut pandang yang berbeda, dan tidak mudah terbawa emosi oleh konten provokatif.Â
Jangan biarkan teknologi yang seharusnya menyatukan kita justru memecah belah kita dengan kabut kebohongan. Mari bersatu, sebelum "benar" dan "salah" benar-benar kehilangan maknanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI