Mengapa sebuah berita palsu bisa menyebar enam kali lebih cepat daripada berita faktual? Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah realitas yang didukung oleh penelitian. Jawaban atas teka-teki ini tidak terletak pada kecerdasan individu, melainkan pada pertemuan dua fenomena fundamental: kelisanan kedua dan pelit kognitif.
Walter J. Ong, seorang ahli media, memperkenalkan konsep kelisanan kedua untuk menggambarkan bagaimana media elektronik seperti radio dan televisi mengembalikan pola komunikasi lisan. Di era digital, media sosial adalah perwujudan paling sempurna dari konsep ini. Melalui post, share, dan retweet, kita mengulang dan menyebarkan informasi layaknya "gosip tetangga" dalam skala global. Dalam lingkungan ini, yang penting bukanlah kebenaran yang mendalam, melainkan daya tarik emosional dari sebuah cerita. Informasi yang sensasional, provokatif, atau bahkan menggelitik cenderung menyebar cepat, mengalahkan informasi berbasis data yang sering kali terasa kering dan membosankan.
Pada saat yang sama, otak kita beroperasi sebagai pelit kognitif (cognitive miser). Ini adalah strategi bawaan yang membuat kita enggan mengeluarkan energi mental lebih dari yang diperlukan. Berpikir kritis, memverifikasi sumber, atau menganalisis informasi secara mendalam adalah tugas yang melelahkan. Di tengah banjir informasi, otak kita secara otomatis mencari jalan pintas. Menerima sebuah narasi yang sederhana, bahkan jika itu palsu, jauh lebih mudah daripada melakukan investigasi pribadi. Dengan demikian, hoaks menjadi "makanan cepat saji" kognitif: mudah dicerna, terasa memuaskan, dan bisa dibagikan tanpa usaha mental yang berarti.
Ketika dua fenomena ini bertemu, kita mendapatkan resep sempurna untuk disinformasi. Media sosial menciptakan lingkungan yang meniru pola komunikasi lisan, di mana emosi dan pengulangan adalah mata uang utama. Sementara itu, manusia, dengan kecenderungan alami untuk menjadi pelit kognitif, cenderung menerima dan menyebarkan konten yang paling mudah diproses, yaitu hoaks. Algoritma media sosial mempercepat lingkaran setan ini dengan memprioritaskan konten yang memicu engagement dan share secara masif, tanpa memedulikan kebenaran. Dengan cara ini, kebohongan menjadi viral, dan fakta sering kali terperangkap di bawah tumpukan noise.
Maka, perang melawan hoaks bukanlah sekadar masalah teknis atau ketersediaan informasi. Ini adalah tantangan fundamental yang membutuhkan perubahan perilaku kognitif. Kita harus menyadari bahwa melawan hoaks berarti melawan kecenderungan alami kita untuk menjadi pelit kognitif. Kita perlu secara sadar melatih diri untuk berhenti sejenak, bertanya, dan memverifikasi. Solusi tidak hanya terletak pada re-desain platform digital yang lebih etis, tetapi juga pada pembekalan individu dengan literasi digital dan skeptisisme yang sehat. Pada akhirnya, perjuangan ini adalah tentang membangun kembali budaya yang menghargai kebenaran, bahkan jika proses untuk mencapainya terasa melelahkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI