Mohon tunggu...
Wawan Setiadi
Wawan Setiadi Mohon Tunggu... Karyawan sekolah di yogyakarta

Orang yang senang belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Ulasan Google Maps Menjadi Medan Pertempuran Virtual: Sebuah Analisis Perang Bintang 1

29 Juni 2025   21:43 Diperbarui: 29 Juni 2025   21:43 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena "perang bintang 1" di Google Maps yang kini menimpa Gunung Rinjani di Indonesia dan Hutan Amazon di Amerika Selatan adalah studi kasus menarik tentang bagaimana insiden di dunia nyata dapat memicu gelombang sentimen digital, mengubah platform ulasan menjadi arena konflik virtual. Lebih dari sekadar rating destinasi, apa yang terjadi saat ini adalah cerminan dari emosi, solidaritas, bahkan rivalitas antar-netizen yang terpicu oleh sebuah tragedi.

Kronologi dan Data Harian Ulasan Bintang 1
Awal mula "perang" ini adalah tragedi. Sekitar Selasa, 24 Juni, hingga Rabu, 25 Juni 2025, dunia maya dikejutkan dengan kabar meninggalnya seorang pendaki asal Brasil, Juliana Marins, di Gunung Rinjani. Kekecewaan atas penanganan insiden, terutama terkait proses evakuasi yang dinilai lambat, memicu kemarahan netizen Brasil.

Rabu, 25 Juni 2025: Gelombang awal ulasan bintang 1 mulai membanjiri halaman Google Maps Gunung Rinjani. Ulasan ini sebagian besar berasal dari akun-akun berbahasa Portugis, yang menunjukkan kekecewaan dan protes terhadap penanganan insiden tersebut. Ini adalah pemicu utama dimulainya tren negatif ini.

Kamis, 26 Juni 2025: Intensitas ulasan bintang 1 untuk Rinjani terus meningkat, mencapai puncaknya dengan ratusan bahkan ribuan ulasan baru yang ditambahkan dalam sehari. Berita tentang "serangan" ini mulai menyebar luas di media sosial Indonesia.

Jumat, 27 Juni 2025: Setelah melihat Gunung Rinjani "diserang" dengan ulasan negatif, netizen Indonesia mulai melancarkan serangan balasan ke Hutan Amazon di Google Maps. Halaman Amazon (khususnya entitas di Brasil) mulai dibanjiri ulasan bintang 1 dari akun-akun berbahasa Indonesia. Ini adalah titik di mana "perang bintang 1" benar-benar terlihat jelas, dengan kedua belah pihak saling memberikan rating terendah sebagai bentuk protes dan ekspresi sentimen.

Sabtu, 28 Juni 2025: Gelombang ulasan negatif untuk kedua destinasi terus berlanjut. Untuk Rinjani, netizen Indonesia juga aktif memberikan ulasan bintang 5 untuk mengimbangi, menciptakan "tarik-menarik" rating. Sementara itu, ulasan bintang 1 untuk Amazon dari netizen Indonesia semakin masif, didominasi komentar sarkastik, sindiran, dan bahkan lelucon yang merujuk pada bahaya di Amazon atau isu lingkungan seperti kebakaran hutan.

Minggu, 29 Juni 2025: Hingga hari ini, tren ini masih berlanjut. Intensitas ulasan negatif untuk Rinjani mungkin sedikit melandai dibandingkan puncaknya, namun ulasan baru masih terus muncul. Di sisi lain, gelombang ulasan bintang 1 untuk Amazon dari netizen Indonesia masih kuat, menunjukkan eskalasi cepat dari sebuah "perang" digital yang belum berakhir.
Ini bukan lagi tentang kualitas wisata, melainkan tentang protes dan ekspresi sentimen.

Dampak Jangka Pendek dan Panjang

Dalam jangka pendek, yang paling jelas adalah distorsi informasi. Calon wisatawan yang mencari data objektif di Google Maps akan menemukan rating yang terpuruk, padahal penyebabnya bukan semata-mata karena pengalaman wisata yang buruk, melainkan gejolak emosi dan konflik antar-netizen. Ini bisa menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu dan berpotensi merusak citra destinasi.

Dalam jangka panjang, jika tidak ditangani dengan serius, "perang" ini bisa berujung pada kerugian pariwisata yang signifikan. Penurunan jumlah pengunjung akan berdampak langsung pada ekonomi lokal, mulai dari pemandu wisata, operator tur, hingga UMKM di sekitar destinasi. Lebih jauh, insiden ini dapat membentuk persepsi negatif global yang sulit untuk diubah kembali, memengaruhi keputusan wisatawan internasional untuk berkunjung di masa depan. Ini juga bisa memicu perubahan kebijakan yang lebih ketat atau urgensi untuk mengembangkan strategi komunikasi krisis yang lebih mumpuni bagi pengelola destinasi.

Pemerintah dan pengelola destinasi, seperti Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, telah berkoordinasi dengan Kominfo dan Google untuk mengatasi distorsi ulasan ini. Langkah ini krusial. Kejadian ini menjadi pengingat penting bagi kita semua: di era digital, reputasi suatu destinasi tidak hanya dibangun di atas keindahan alam atau kualitas layanan, tetapi juga sangat rentan terhadap gelombang sentimen daring. Melindungi citra destinasi kini membutuhkan tidak hanya pengelolaan fisik yang baik, tetapi juga diplomasi digital yang cerdas dan efektif.

Bagaimana menurut Anda, apakah fenomena ini akan mengubah cara destinasi wisata mengelola reputasi daring mereka di masa depan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun