Mohon tunggu...
wawan s
wawan s Mohon Tunggu... Buruh - Belajar menulis

Belajar menulis. Menulis sambil belajar

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Yakin Kita Akan Segera Beralih ke Metaverse?

3 Desember 2021   17:16 Diperbarui: 3 Desember 2021   17:42 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Awal bulan Nopember, Facebook mengubah nama perusahaannya menjadi Meta. Perubahan ini ternyata bukan sekedar nama belaka, namun juga merupakan target yang ingin dikejar oleh raksasa media sosial tersebut. Meta berasal dari kata Metaverse. Nicke Clegg, kepala urusan global Facebook menyebut, ambisi mewujudkan metaverse ini diharapkan terlaksana dalam lima belas tahun kedepan.

Metaverse merupakan ruang virtual yang diciptakan dan bisa dijelajahi oleh pengguna tanpa pertemuan fisik.

Memang konsep Metaverse belum jelas, dan disebut masih spekulatif. Namun raksasa teknologi lain, yaitu Microsoft, juga berencana membangun Metaverse. Sebuah analisa menyebut bahwa Microsoft memiliki peluang sukses lebih besar, karena bisa masuk melalui jaringan IT perkantoran. 

Dari lingkungan perkantoran ini akan membuka jalan menuju rumah tangga dan lingkungan pendidikan. Bandingkan dengan Facebook yang hanya menggunakan jalur media sosial.

Memang ini baru konsep. Ibarat mau membangun, baru gagasan liar yang belum ada tim perencananya. Namun keterlibatan dua perusahaan tersebut, menunjukkan bahwa keduanya ingin membawa kita ke arah tersebut.

Apakah semua orang setuju dengan konsep tersebut? Tentu ada yang tidak setuju. Saya sendiri termasuk pihak yang ikut mempertanyakan bagaimana dampak negatif yang mungkin timbul dari Metaverse. Dunia memang tidak sempurna, namun kita juga harus semakin sadar akan sisi kelam teknologi, ketika teknologi tersebut makin merasuk dalam kehidupan kita.

Lihat saja dampak media sosial. Teori tubuh yang termediasi (mediated body) menyatakan bahwa indera yang bersentuhan langsung dengan rangsangan, dalam hal ini obyek di luar tubuh, akan memberikan dampak yang berbeda dengan indera yang termediasi ketika "menikmati" obyek yang sama. 

Melihat bunga sungguhan, berbeda dengan melihat film tentang bunga. Bertemu melalui videocall tentu berbeda dengan bertatap muka di kehidupan nyata. Bertukar gagasan melalui pesan teks tentu berbeda dengan ngobrol dalam kehidupan nyata.

Media sosial ini terus menjamur seiring dengan pertumbuhan penjualan smart phone. Karena saat ini semakin sedikit orang yang mengakses media sosial melalui laptop, apa lagi desktop. Smartphone menghadirkan kemudahan untuk mengakses, karena smartphone bisa masuk di kantong.

Apakah kita bisa mengukur seberapa destruktifnya media sosial dalam hidup manusia? Perlu penelitian untuk menjawabnya. Namun saya mencoba untuk menunjukkan indikasinya. Memang bukan hubungan langsung antara pengguna media sosial dan korban efek negatif media sosial. 

Asumsi yang saya gunakan adalah smartphone digunakan untuk mendukung pemakaian media sosial. Data tahun 2020 menunjukkan bahwa 90% smartphone digunakan untuk mengoperasikan aplikasi. Dan daftar aplikasi yang terpopuler adalah chat (90,7%), social media (88,4%) dan entertainment (67,2%) .

Bagaimana dengan data pertumbuhan gadget? Tahun 2019, terdapat 5 milyar mobile phone dan 2,7 milyar smartphone. Dan setiap tahun ada penambahan lebih dari 100 juta pengguna mobile phone. Tahun 2017, 69% orang dewasa menggunakan media sosial. Bagaimana dampaknya bagi kesehatan mental?

Penderita gangguan mental pada usia muda (18 sampai 25 tahun), naik 52% dari tahun 2005 ke tahun 2017, dan naik 63% dari tahun 2009 ke tahun 2017. Dari tahun 2008 ke tahun 2017, pengalaman gangguan psikologis naik 71%, dan gagasan bunuh diri naik 47%. Dari tahun 2012 ke tahun 2015, penderita depresi naik 21% untuk anak pria dan 50% untuk anak wanita. Dari tahun 2010 ke tahun 2015, gejala depresi tingkat tinggi pada anak kelas 8 dan 12 naik 33%, dan angka bunuh diri pada gadis naik 65%.

Menurut resume google, gejala depresi pada remaja usia 14 tahun ke atas adalah hal yang sangat umum. Di Amerika Serikat, tingkat depresi tertinggi ada pada rentang usia 18 sampai 29 tahun, yaitu 21%. Dan penderita wanita jumlahnya dua kali penderita pria.

Memang saya tidak bisa menunjukkan apakah angka-angka kenaikan penderita gangguan jiwa ini disebabkan oleh penggunaan smartphone. Namun angka-angka tersebut menunjukkan adanya korelasi positif antara kepemilikan smartphone, penggunaan media sosial dan penderita gangguan kejiwaan.

Itu baru dari media sosial.

Bagaimana jika benar nantinya Metaverse akan hadir lima belas tahun lagi. Jika persoalan dampak negatif media sosial belum terselesaikan, kita patut khawatir bahwa angka penderita gangguan kejiwaan akan naik tajam. Lalu apa gunanya kemajuan ini jika semakin banyak orang muda yang bunuh diri, jika, katakan 40% populasi, pernah mengalami gangguan kejiwaan??

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun