Mohon tunggu...
Wawan Ridwan AS
Wawan Ridwan AS Mohon Tunggu... Penacinta

Konsep, Sikap, Action menuju Good Respect.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Membaca Potensi Match Fixing: Skema Terselubung Partai Hidup Mati

11 Oktober 2025   16:35 Diperbarui: 11 Oktober 2025   17:12 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekalahan atau kemenangan dalam sebuah pertandingan adalah bagian tak terpisahkan dari drama sepak bola. Resiko sebuah pertandingan tentu ada hasil yang menggembirakan maupun menyedihkan.

Tentunya para fans sepakbola sebuah tim baik timnas maupun sebuah klub akan mengapresiasi hasil pertandingan jika timnya sudah melakukan upaya maksimal untuk memenangkan pertandingan.

Yang sering menjadi pertanyaan besar fans adalah hasil yang mengecewakan disertai permainan dilapangan yang dianggap jauh panggang dari api. Apalagi misalnya melihat komposisi dan strategi permainan yang menimbulkan banyak pertanyaan dasar bagi suporter.

Kejanggalan-kejanggalan seperti ini seringkali memunculkan perdebatan dan pertanyaan, ada apa dengan permaian tim ini? Apakah ada sesuatu yang lain yang tidak kita ketahui?

Isu-isu pengaturan skor, suap pemain pelatih dan sebagainya yang sering kita kenal dengan Match Fixing sering menyeruak kepermukaan pada saat ada kejanggalan dalam sebuah permainan dan tentunya hasil itu sendiri.

Match fixing memang sesuatu yang sulit dilihat dan dibuktikan, namun itu bisa dirasakan tatkala sebuah tim bermain di bawah standarnya, misalnaya ada kejanggalan starting eleven, pergantian pemain yang tak tepat, instruksi dan semacamnya, ataupun permainan yang tidak ideal karena kepentingan tertentu sebuah tim sehingga pertandingan terasa kehilangan ruhnya.

Sepak bola pada hakikatnya adalah sportivitas dan perjuangan memenangkan petandingan dengan cara-cara yang sudah disepakati secara normatif regulatif. Setiap tim berjuang secara maksimal, efektif dalam menyerang, dan kuat bertahan disertai keberuntungan tentu akan menuai hasil terbaik.

Namun apa jadinya jika sebuah pertandingan apalagi sangat krusial, partai hidup mati dalam kemenangan yang menentukan nasib selanjutnya sebuah tim, terkontaminasi oleh hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai sepak bola itu sendiri?

Mengapa Match Fixing Begitu Mudah Menyusup?

Match fixing muncul bukan semata karena moral tim yang rendah, tetapi karena adanya kerentanan struktural dan godaan finansial besar yang sulit ditolak. Sesorang yang mendapat puluhan lipat besarnya dari pendapatan regulernya tentu saja rentan tergiur

1. Besaran uang mafia yang tak terbatas: jaringan judi global (terutama di asia) mengalirkan uang dalam jumlah fantastis, sering kali mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah per pertandingan krusial.

Uang ini jauh melebihi gaji tahunan banyak pemain di liga menengah ke bawah. Godaan finansial yang sulit ditolak ini menjadi faktor utama, terutama tim, pemain, pelatih sebagai pelaku utama.

2. Transparansi bursa taruhan yang rendah: tidak seperti bursa saham, bursa taruhan global sering beroperasi di bawah pengawasan. Ketika uang dalam jumlah besar bergerak cepat pada hasil atau skor tertentu, sulit bagi regulator lokal untuk melacak sumbernya, sehingga memudahkan mafia beraksi tanpa terdeteksi.

3. Hukuman yang tidak setimpal: di banyak negara, hukuman bagi pelaku match fixing dianggap ringan dibandingkan keuntungan yang diperoleh. Pelaku berhitung bahwa risiko hukumnya rendah dibandingkan imbalan yang diterima, sehingga insentif untuk berbuat curang menjadi tinggi.

4. Kesenjangan kesejahteraan pemain: di liga-liga menengah ke bawah, banyak pemain tidak memiliki gaji atau kontrak yang stabil. Faktor kerentanan ekonomi ini menjadikan mereka sasaran empuk bagi mafia yang menawarkan uang dalam jumlah besar, jauh di atas penghasilan normal mereka.

Pintu Masuk Match Fixing

Analisis investigasi global menunjukkan bahwa match fixing adalah kejahatan terorganisir. Target yang disasar terbagi dua: teknis, langsung memengaruhi di lapangan dan non teknis yang memegang kendali diluar lapangan.

Sasaran Teknis (Lapangan)

1. Pelatih kepala: menurut temuan Europol dan laporan investigasi FIFA, suap pada pelatih dianggap sebagai cara paling efisien. Pelatih memiliki otoritas tunggal untuk memengaruhi hasil dengan cara yang paling sulit dilacak: strategi dan keputusan taktis. 

Suap dilakukan untuk memastikan starting eleven yang sengaja disusun untuk mengurangi kekuatan tim. Pergantian pemain yang aneh pada momen krusial (misalnya, menarik pemain kunci saat skor imbang.

2. Pemain kunci: mafia akan menyasar pemain yang rentan secara finansial pribadi atau ancaman psikologis. Mereka disuap untuk melakukan kesalahan elementer yang terlihat alami: salah passing fatal, gagal antisipasi offside yang disengaja, bunuh diri, time-wasting berlebihan dan semacamnya.

3. Wasit dan ofisial pertandingan: mereka bertanggung jawab untuk menghasilkan keputusan tertentu seperti penalti, kartu merah, atau perpanjangan waktu yang dapat mengubah skor akhir.

Sasaran Non-Teknis (Luar Lapangan)

Manajemen dan pemilik klub/tim: dalam banyak kasus, manipulasi skor terjadi bukan demi keuntungan taruhan luar, tetapi demi kepentingan bisnis klub itu sendiri.

Misalnya, mengatur hasil untuk menghindari degradasi atau memanipulasi nilai transfer pemain. Kasus Calciopoli di Italia adalah contoh utama di mana manajemen terlibat langsung dalam pengaturan wasit.

Jaringan judi global (mafia), ini adalah inti dari masalah. Jaringan ini menggunakan uang sebagai daya ungkit, menyasar pemain/pelatih/tim yang terhimpit ekonomi atau bahkan menggunakan ancaman fisik dan pemerasan untuk memaksa individu bertindak sesuai skema taruhan.

Membaca Pola Skema Terselubung

Pola-pola ini sering berulang dalam kasus match fixing yang sudah terungkap:

Pola skor tepat (correct score) yang tidak logis: mafia judi sering bertaruh pada skor spesifik (misalnya, 3-2 atau 4-1) karena odds-nya besar. Jika sebuah tim kebobolan gol-gol mudah untuk mencapai margin skor tertentu, itu dapat memicu kecurigaan.

Aksi underperform saat momen krusial: tim yang dikenal agresif tiba-tiba bermain pasif atau mengurangi intensitas serangan saat mendekati skor yang menguntungkan bandar. Gairah tim seolah mati, tidak menampilkan permaian seharusnya.

Blunder soft dan berulang: terjadi serangkaian kesalahan teknis yang seharusnya tidak dilakukan pemain profesional, seperti passing yang sangat buruk, miss tembakan di depan gawang, atau penjagaan yang sengaja dilonggarkan, semuanya berkontribusi pada hasil akhir yang dikehendaki.

VAR dan Celah yang Masih Terbuka

Meskipun Video Assistant Referee (VAR) sudah ada, namun match fixing belum hilang, mereka beradaptasi menjadi lebih halus dan sulit dideteksi.

VAR memang bisa meminimalisir kesalahan pengambilan keputusan wasit yang bersifat visual dan subjektifitas. Namun inipun masih ada celah, bagaiaman sikap wasit terhadap moment itu sendiri, seperti pengambilan momen krusial di kotak pinalti, handsball, pelanggaran dan keputusan finalti masih mengandung interpretasi wasit itu sendiri.

VAR tetap tidak menjangkau sisi non teknis misi terselubung ini, menjadi sasaran lain yang bisa dijadikan celah.Keputusan taktis pelatih (seperti pergantian pemain) dan blunder pemain yang disengaja, yang mana keduanya akan selalu terlihat seperti kesalahan murni dalam permainan dan berada di luar yurisdiksi VAR.

Selain itu, mafia kini fokus bertaruh pada detail yang tidak dicakup VAR seperti jumlah kartu kuning atau corner kick, yang lebih mudah diatur oleh pemain atau wasit tanpa intervensi teknologi.

Pelajaran Masa Lalu

Skandal seperti Totonero (1980) dan Calciopoli (2006) di Italia menunjukkan bahwa match fixing bisa beroperasi di tingkat elit manajemen klub untuk mengatur wasit.

Totenero (1980) | Foto: si.com
Totenero (1980) | Foto: si.com
Sementara kasus kiper Bruce Grobbelaar (1994) atau pemain Choi Sung-kuk (2011) memperlihatkan kerentanan seorang pemain kunci. Kasus Standard Liege (1982) dan Marseille (1993) menyoroti penggunaan suap kepada tim lawan untuk mengamankan gelarnya. Aib Gijon (Jerman Barat vs Austria) merupakan pengaturan pertandingan yang disepakati oleh kedua tim untuk menyingkirkan Aljazair di Piala Dunia 1982.

Di Indonesia sendiri, terbentuknya Satuan Tugas Anti Mafia Bola (2023), menunjukkan bahwa sepak bola kita juga masih bermasalah dengan match fixing. Perebutan degradasi promosi tim di liga sering menjadi peluang besar match fixing ini. Isu mafia di sepak bola kita masih terus menghantui hingga saat ini.

Mari Kita Kawal Sepak Bola Indonesia

Match fixing selalu menyasar urgensi sportifitas sepakbola dan finansial (target ekonomi pelaku) serta sistemnya, menjadikan setiap komponen sepak bola sebagai sasaran utama.

Sebagai pencinta bola, tugas kita adalah meningkatkan literasi kritis agar setiap anomali yang terjadi dalam spakbola dapat dicurigai dan dianalisis secara objektif integritas olah raga.

Perjuangan Timnas saat ini di QWC 4 2026 menjadi momentum berharga, harapan dan semangat bangsa yang harus kita jaga.

Mari kita dukung, ikut memastikan bahwa setiap hasil yang diraih adalah cerminan sportifitas sepakbola kita.

Ref: Disarikan dari berbagai sumber

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun