Akhir-akhir ini ada nada skeptis yang cukup menguat dalam membahas fungsi dan eksistensi pesantren terkait para santrinya.
Keraguan ini seringkali menyasar satu pertanyaan dasar terkait kemandirian lulusan pesantren, mengapa pesantren yang mengajarkan ilmu agama harus ikut bertanggung jawab dalam membentuk santri yang berjiwa bisnis?
Pertanyaan ini bukan hanya perdebatan teologis, tetapi mencerminkan distorsi historis yang memisahkan ilmu agama (ilmu ukhrawi)Â dari ilmu dunia (ilmu duniawi).
Padahal, pesantren memiliki sejarah panjang sebagai pilar bangsa sejak masa lampau, melahirkan tokoh-tokoh besar yang mampu memimpin dalam spiritualitas, ikut membangun sejarah dan juga urusan keduniawian.Â
Pesantren telah lama dikenal sebagai pusat pendidikan agama dan moral. Namun, dalam konteks globalisasi dan revolusi industri 4.0 ini, penting untuk melengkapi santri dengan keterampilan praktis yang dapat mendukung kompetensi mereka dalam dunia bisnis agar setelah selesai mondoknya mereka mampu mandiri.
Pesantren saat ini harus melakukan tranformasi dan kebaruan dalam upaya mencetak santri yang tidak hanya berilmu agama namun juga berbekal ilmu dunia, generasi santripreneur ulul albab.
Visi ini menjadi sebuah keniscayaan yang harus diusung pesantren agar tidak hanya relevan, tetapi juga para santri mampu menjawab tantangan pasar saat ini yang makin ketat.
Hingga tahun 2024 lalu, tercatat jumlah pondok pesantren di Indonesia mencapai lebih dari 34.000 unit, dengan jutaan santri yang tersebar di seluruh negeri, dengan alumninya mencapai puluhan juta orang, akan tetapi diperkirakan kurang dari 20 persen santri yang berminat menjadi entrepreneur (Sayekti).
Pondok pesantren memiliki potensi strategis untuk dikembangkan sebagai tempat penumbuhan ribuan pelaku wirausaha baru.
Santri yang memiliki skill dan pengetahuan berwirausaha dapat menunjang peran penting pondok pesantren sebagai "Agent of Development" dalam memacu pemberdayaan ekonomi masyarakat termasuk pesantrennya itu sendiri
Distorsi Historis dan Pertanyaan Mendasar
Skeptisisme publik berakar pada anggapan bahwa pesantren hanya memiliki satu mandat, yaitu mencetak ulama atau ahli agama. Anggapan ini mengabaikan fakta bahwa pendidikan holistik adalah DNA asli pesantren.