Dalam ranah publik, komunikasi merupakan fondasi utama yang membangun kepercayaan antara kekuasaan dan rakyatnya. Setiap kalimat atau pernyataan yang keluar adalah representasi dari pikiran, kebijakan, dan janji amanat negara yang dipikulnya.Â
Sebuah kesalahan dalam komunikasi seorang pejabat tidak bisa dianggap remeh, akan berpotensi memicu respon negatif. Apalagi pernyataan-pernyataan yang esensial dapat memicu konflik dan krisis sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini.
Bagi pejabat publik, kegagalan dalam berkomunikasi, apalagi bukti nyata yang dirasakan publik tidak terlihat, bukan hanya cerminan dari ketidakmampuan berbicara, tetapi juga berkonsekuensi pada kemampuan dan integritasnya yang senakin dipertanyakan publik.
Sesungguhnya mereka ini ingin tampil didepan publik dengan cara mengagumkan dan mempesona, tetapi apalah daya, pengetahuan, wawasan dan pemahaman tidak dimilikinya secara baik. Di hadapan banyak orang, mereka tidak mampu memilih rangkaian kalimat yang mampu menyampaikan esensinya.
Ini menjadi masalah serius, Saat kalimat dan amanat dalam krisis, kemampuan dan integritas pejabat dipertanyakan, memicu pertanyaan mengapa mereka gagal berkomunikasi?
Mengapa Pejabat Gagal Berkomunikasi?
Tampil di depan publik untuk sekarang ini tampaknya menjadi bagian dari cara dan gaya hidup. Dalam kerangka pikir Maslow, barangkali ini bisa dikategorikan sebagai akhir atau puncak dari pengaktualisasian diri. Diakui atau tidak, kebutuhan akan aktualisasi diri ini menjadi kebutuhan semua orang termasuk para pejabat sebagai publik figur untuk mengaktualisasi dirinya agar diterima publik.
Persoalannya, walaupun tiap orang menginginkannya, namun tidak semua orang menguasainya, bagaimana mengaktualisasikan dirinya melalui untaian bahasa dan pernyataan yang komunikatif.
Beberapa pejabat publik baik eksekutif maupun legislatif, akhir-akhir ini memberi indikasi komunikasi yang mengarah pada minimnya penghormatan terhadap etika berkomunikasi. Di beberapa media sosial seringkali kita lihat beberapa pejabat kita melemparkan pernyataan bahkan respon yang kurang representatif dengan jabatan yang melekat pada dirinya.
Seringkali pula diberbagai media televisi ataupun online, talkshaw politik yang mempertemukan dua kubu. Terjadi perdebatan dengan rangkaian kalimat-kalimat panas yang cenderung kurang etis dipertontonkan.
Bahasa yang disampaika cenderung kebablasan, seperti kata  tol*l, ataupun frase kalimat yang merendahkan publik. Pilihan frase pernyataan yang diluar subtansi persoalan, membuat kita terperanjat dan bertaya, dimanakah letak etika politisi ini?