Mohon tunggu...
Bernabas Ambon
Bernabas Ambon Mohon Tunggu... Guru - Orang Biasa

Berdoa dan bekerja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membudayakan Rasa dalam Mendidik Manusia Muda

22 September 2022   20:39 Diperbarui: 22 September 2022   20:58 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya masih ingat persis kala berdiskusi hangat dengan seorang teman yang berprofesi sebagai seorang guru. Saya berkunjung ke rumahnya dan kemudian kami berdiskusi, mempersoalkan masalah ihwal kekerasan dalam dunia pendidikan. Ia memulai diskusi dengan mengetengahkan kasus kekerasan dari berita yang sedang viral, seorang murid memukul gurunya dan sebaliknya. 

Kekerasan dalam lingkup sekolah seolah menjadi siklus yang datang silih berganti, balas-membalas dan menjadi problem ini akan menjadi ingatan yang mengafirmasi bahwa dalam diri manusia Indonesia masih ada jejak gen yang mengakibatkan terjadi letargi kebudayaan (kelelahan dalam memahami kebudayaan).

Teman saya itu memulai kekesalannya dengan berucap, "kalau aku menghadapi murid kayak gini (memukul guru) tak kaploki duluan, urusan hukum belakangan. Kalau sekolah sampai menaikkan atau meluluskan bocah macam ini sekolahnya yang perlu dipertanyakan komitmen dalam mendidik." Menanggapi ucapannya, saya melontarkan satu pertanyaan, apakah dengan kaploki (memukuli) itu, bisa menyelesaikan masalah? 

Teman saya itu lantas merespon dengan cepat, "lho, aku jengkel, sebagai seorang guru, di depan kelas, saya dan guru-guru yang lain mengajar, mendidik demi mencerdaskan anak bangsa yang berbudi pekerti, tapi faktanya dia tidak menghormati gurunya. "Maka, karena dia tidak menghormati, ya tak kaploki wae," ujarnya. Saya diam sejenak dan merasakan bila kekerasan itu terjadi pada teman saya itu.

Kekerasan vs Welas Asih

Murid memukul gurunya, dan kemudian gurunya membalas pukulan tersebut dengan pukulan. Frase "pukulan dibalas pukulan" menjadi duduk perkara dari rantai kekerasan terutama bila situasi itu dirawat dalam kultur kekerasan, maka situasi yang terjadi adalah sekolah bukan tempat pengajaran, tetapi penghajaran. 

Dari sini kita bisa mengerti kritik tajam terhadap sekolah justru kehilangan karakternya, kehilangan jiwanya yaitu seperti yang diingatkan Nicholaus Driyarkara mendidik manusia-manusia muda dengan tidak kehilangan dimensi kemanusiaannya. 

Frase tersebut juga, dalam arti yang ketat (in strict sense) menjadi sebentuk permanensi kultural bahwa ada kekerasan yang dibiasakan dan ditradisikan secara sengaja oleh antar subjek (yang mengajar dan yang diajar) di sekolah, hanya karena emosi dan bukan karena welas asih (sense).

Budaya ketimuran kita, dalam persoalan itu, sejenak terlempar keluar dari rasa kemanusiaan dan masuk pada rantai kekerasan. Situasi ini, bila tanpa dilandasi pendekatan welas asih, maka berakibat masuk dalam lubang kekerasan yang tak berujung. Welas asih ini sebenarnya merupakan bagian dari pendidikan karakter yang tidak boleh diabaikan begitu saja. 

Pedagogi yang sehat mensyaratkan adanya welas asih. Dengan welas asih tak mungkin terjadi kaploki-mengaploki karena ia mesti ada dalam pribadi-pribadi baik dalam diri yang mengajar maupun diri yang diajar. Welas asih, ringkasnya adalah pedagogi hati yang berniat membudayakan rasa dalam pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun