Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Sang Waktu

8 Februari 2019   10:34 Diperbarui: 8 Februari 2019   13:34 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian Dua Puluh Dua

Sang Ratu

*

Negara Kesatuan Republik Indonesia telah bubar pada tahun 2020 yang lalu. Kini, sejauh mata memandang hanyalah hamparan air laut beriak berwarna biru menutupi daratan bekas kota metropolitan yang dulu begitu megah.

Mataku menatap cahaya kuning keemasan seperti lidah api di atas cawan di puncak tugu Monumen Nasional berbentuk "lingga" dan "yoni".

Lingga adalah bagian berbentuk persegi yang menjulang tinggi yang melambangkan elemen maskulin aktif dan positif dan melambangkan siang hari. Sedangkan, Yoni adalah bagian bawah berbentuk cawan yang menjadi landasan lingga yang melambangkan elemen feminim yang pasif dan negatif dan melambangkan malam hari. 

Lingga dan yoni merupakan lambang kesuburan dan kesatuan harmonis yang saling melengkapi. Selain itu, bentuk tugu Monumen Nasional (Monas) juga dapat ditafsirkan sebagai bentuk "alu" dan "lesung" yang merupakan alat penumbuk padi tradisional. Secara keseluruhan, desain tugu monas memiliki dimensi budaya Indonesia pada masa itu.

Hanya itu satu-satunya bangunan yang masih berdiri kokoh di tengah lautan ini.

Aku menatap kagum ke arah nyala api dari perunggu lambang semangat juang yang menyala-nyala itu. "Api Nan Tak Kunjung Padam" itu terlihat masih begitu indah.

Dan, juga wanita itu. Ada sosok wanita di situ!

Sosok wanita itu tengah duduk bersimpuh. Rambutnya sepundak tergerai dengan simpulan seperti sanggul kecil di atas kepalanya. Sebuah mahkota kecil tersemat di situ.

Ia terlihat sangat anggun. Cantik. Matanya elok. Elok? Baru aku sadar, ternyata wanita itu sedang memandang kepadaku! 

Masih tidak percaya dengan penglihatan mataku sendiri, aku berpaling menatap seraut wajah dingin tanpa rasa yang tengah berdiri di sampingku di atas bekas reruntuhan gedung Istana Negara.

"Apakah engkau ingin tahu siapa dia?" tanyanya dengan pandangan bergeming ke arah wanita yang tengah duduk bersimpuh di puncak Monas itu.

"Siapa dia?" tanyaku balik.

"Dialah wanita yang pernah menjumpaimu beberapa waktu yang lalu," jawab Sang Waktu tanpa menoleh ke arahku.

"Wanita Berkerudung Bergo Panjang Merah Marun, diakah?" sambil ingatanku kembali ke Wanita Berkerudung Bergo Panjang Merah Marun .

"Di sini namanya bukan itu," kata Sang Waktu lagi.

"Siapa dia sebenarnya?" tanyaku mulai tidak sabar melihat Sang Waktu, yang menurutku, terkadang sedikit menjengkelkan.

Kulirik makhluk berjubah putih keperakan di sampingku ini. Entah kenapa Tuhan menciptakan mahkluk seperti ini! Dia begitu santai dan sepertinya tidak pernah perduli dengan apapun yang terjadi di sekelilingnya.

Sang Waktu menoleh ke arahku. Hmm... mungkin dia mendengar suara hatiku. Ada pepatah yang mengatakan: "Dalamnya lautan bisa diterka, tapi dalamnya hati siapa yang tahu?". Namun, pepatah itu tidak berlaku bagi makhluk ini! 

"Di pulau Jawa, dia biasa dipanggil dengan nama Kanjeng Ratu Kidul ," sambil matanya kembali melihat ke arah wanita itu.

Dalam mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu yang mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan Dewi alam yang lain. Sedangkan, Nyi Roro Kidul mulanya merupakan putri Kerajaan Sunda yang diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya.

Dalam perkembangannya, masyarakat cenderung menyamakan Nyi Roro Kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul, meskipun dalam Kejawen, Nyi Roro Kidul adalah bawahan setia Kanjeng Ratu Kidul.

Nyi Roro Kidul (juga Nyai Roro Kidul atau Nyai Loro Kidul) adalah sesosok roh atau dewi legendaris Indonesia yang sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali.

Nyi Roro Kidul secara umum disamakan dengan Kanjeng Ratu Kidul dan dikenal sebagai Ratu Laut Selatan (Samudra Hindia), meskipun, menurut beberapa kalangan, sebenarnya mereka itu adalah dua orang yang berbeda.

Kedudukan Nyi Roro Kidul sebagai Ratu Lelembut tanah Jawa menjadi motif populer dalam cerita rakyat dan mitologi, selain itu juga sering dihubungkan dengan kecantikan putri-putri Sunda dan Jawa pada masa itu.

"Terus?" tanyaku sedikit penasaran mendengar ceritanya barusan.

"Pegang tanganku," kata Sang Waktu sambil menyodorkan tangan kanannya ke arahku. Kupegang tangannya. Sekian lama aku berjalan bersamanya, baru sekali ini aku memegang tangan makhluk yang memiliki raut wajah begitu dingin, datar, dan tanpa rasa itu.

Terasa ada hawa dingin mengalir masuk ke dalam tubuhku. Menjalar dari telapak tangannya terus merayap naik pundak hingga aku merasakan hawa dingin itu telah membungkus seluruh tubuhku.

"Apa yang engkau lihat di atas puncak Monas sana?" tanya Sang Waktu.

Aku kaget. Mataku saat ini memiliki kemampuan yang lebih dari sebelum aku mendapat transfer energi dari Sang Waktu tadi.

"Apa yang engkau lihat?" tanya Sang Waktu lagi.

Aku terkagum-kagum melihat kecantikan wajah wanita yang tengah duduk bersimpuh di puncak Monas itu.

"Apa yang engkau lihat?" ketiga kalinya dia bertanya. Tak ada nada kesal. Tidak seperti manusia akan kesal bila harus mengulang pertanyaan yang sama. Bagus juga makhluk ini.

"Aku melihat wanita cantik," jawabku dengan mata tak berkedip kini memandang bibir yang tengah tersenyum manis ke arah kami. Itu pasti untukku bukan untuk makhluk ini.

"Selain itu?" tanya Sang Waktu. Ah, syukurlah makhluk ini juga tidak tertarik dengan itu.

"Wajahnya... Sepertinya, wajah itu tidak begitu asing lagi buatku. Apakah itu nyata?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya barusan.

"Menurutmu, apakah air laut yang menenggelamkan Istana Negara dan sebagian Pulau Jawa ini nyata atau tidak?" tanya Sang Waktu sambil menatap dingin ke arahku.

Kubalas tatapan raut wajah dingin, datar, dan tanpa rasa itu. Menjengkelkan sekali makhluk ini! Menurutku, itu pertanyaan yang aneh dan tidak perlu kujawab. Jelas-jelas air laut ini nyata! Masa dia masih bertanya seperti itu?

Buktinya tidak jauh dari tugu Monas itu, aku tadi melihat ada ikan terbang di antara deburan ombak di sekeliling monumen setinggi 132 meter (433 kaki) yang sebagian tiangnya telah terendam oleh air laut ini.

"Nyata," jawabku mengalah pada keangkuhannya.

"Begitu pun dia," kata Sang Waktu. "Engkau kenal dengannya?" lanjutnya.

"Jika melihat wajahnya, sepertinya dia adalah Wanita Berkerudung Bergo Panjang Merah Marun dalam bentuk lainnya," kataku lagi.

"Di kalangan penganut ilmu Siluman Harimau di Nusantara, dia Bernama Raden Ayu Setia Ninggrum, Ratu dari semua siluman harimau di tanah Nusantara," katanya menjelaskan.

"Dan, di tanah Nusantara ini, oleh para leluhurmu dahulu, dia dipanggil dengan sebutan Ibu Pertiwi untuk menyebut nama lain terhadap negeri pecahan dari surga itu," katanya lagi tanpa melihat ke arahku.

"Bagaimana mungkin dia berwujud begitu banyak dan ada di mana-mana dengan nama yang berbeda-beda pula?" tanyaku tak memahami penjelasan Sang Waktu.


- Bersambung -

Referensi: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun