Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya dan Agama, Dua Hal yang tak Perlu Dipertentangkan

8 Desember 2018   01:43 Diperbarui: 10 Desember 2018   01:20 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi," kata Presiden Jokowi pula saat berpidato dalam membuka Munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal.

Presiden Jokowi menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara. Selain Presiden Jokowi, hal senada juga disuarakan sejumlah pejabat Indonesia lainnya, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla yang lebih sering memakai istilah Islam Indonesia.

Tetapi secara hampir bersamaan lahir pula kritikan dan penolakan terhadap istilah Islam Nusantara yang diwarnai perdebatan keras terutama melalui media sosial atau dalam diskusi terbuka. Secara garis besar, penolakan pada istilah Islam Nusantara dikarenakan istilah itu seolah-olah mencerminkan bahwa ajaran Islam itu tidak tunggal.

Gelar Sarasehan, Kemenag Bahas Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya

Kementerian Agama diketahui telah menggelar Sarasehan Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Bantul, Yogyakarta pada hari Sabtu 03 November 2018 yang lalu. Sarasehan yang diikuti oleh Abdullah Muhaimin, Acep Zamzam Noor, Agus Sunyoto, Agus Noor, Alissa Wahid, Aloyisius Budi Purnomo, Bhante Sri Pannavaro, Fatin Hamama,  Jamhari, John Titaley, M Amin Abdullah, M Jadul Maula, Nasirun, Pandita Mpu Jaya Prema, Purwosantoso, Radhar Panca Dahana, Ridwan Saidi, Sudjiwo Agus Hadi (Sudjiwo Tedjo), Wahyu Muryadi, Wisnu Bawa Tenaya dan Zakiyuddin Baidlawi ini adalah sebagai salah satu upaya untuk memperkuat relasi agama dan budaya.

Langkah ini dianggap relevan di tengah semakin kuatnya infiltrasi budaya asing dan paham transnasional yang dalam kasus tertentu mempermasalahkan jalinan relasi agama dan budaya di Indonesia. Padahal agama dan budaya di Indonesia sudah terjalin apik sejak lama.

"Baru-baru ini kami mendapati satu dua kasus terjadinya perbedaan cara pandang terkait praktik budaya dan agama. Kami melihat perlu ada ruang untuk melakukan dialog antara agamawan, cendekiawan, dan budayawan. Kementerian Agama memfasilitasi hal itu," jelas Mastuki di Yogyakarta, pada Jumat 02 November 2018 yang lalu.

Pro dan Kontra terkait munculnya Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam Indonesia masih berlanjut hingga saat ini. Sebagian orang menilai Islam nusantara sebagai keyakinan yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan ‘Islam Arab’

"Dengan dialog, diharapkan ada titik temu yang dapat mencerahkan masyarakat. Kementerian Agama berperan sebagai fasilitator dialog tersebut," kata Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama Mastuki.

Sarasehan yang dibuka dan ditutup oleh Menag Lukman Hakim Saifuddin yang berlangsung pada tanggal 2-3 November 2018 ini menghasilkan enam point rumusan Permufakatan Yogyakarta Agamawan dan Budayawan.

Baca juga; Sarasehan Agamawan dan Budayawan Hasilkan 6 Point Permufakatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun