Mohon tunggu...
F.X. Warindrayana
F.X. Warindrayana Mohon Tunggu... -

mari berbagi hal baik lewat tulisan, "nemo dat quod non habet"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyapa dan Berbincang dengan Masyarakat mengenai Pentingnya Membaca Buku

28 November 2017   14:00 Diperbarui: 28 November 2017   16:43 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Minggu terakhir di bulan November, Sahabat Literasi Kanisius menyambangi Lokasi Wisata Hutan Pinus Mangunan, Bantul. Ruang-ruang publik di Jogjakarta seperti Malioboro, Alun-alun, Taman Wisata Candi Prambanan telah mereka kunjungi tahun ini. Mereka menyapa masyarakat yang dijumpai di lokasi, dan mengajak berbincang mengenai pentingnya baca buku. Tak lupa mereka juga memberikan buku.

Apa yang bisa diberikan oleh sebuah buku? J. Lampe, SJ., yang pada 1967-1993 memimpin Penerbit Kanisius di Jogjakarta, suka mengutip puisi berjudul Moments I Have Loved! karya Louis L'Amour untuk menggambarkan salah satu jawabannya.

Buku merupakan kemenangan manusia yang paling besar.Dengan duduk di perpustakaanku, aku hidup dalam sebuah mesin waktu. Dalam sekejap aku bisa pindah ke zaman apa pun, belahan mana pun di dunia, bahkan ke angkasa luar.

Aku telah hidup dalam setiap masa sejarah. Aku telah mendengar perkataan Sang Buddha, berbaris bersama Aleksander, berlayar bersama kaum Viking, bersampan bersama orang Polinesia.

Aku pernah berada di istana Ratu Elizabeth dan Louis XIV. Aku pernah menjadi teman Kapten Nemo, dan berlayar bersama Kapten Bligh sang dermawan. Aku pernah berjalan di agora dengan Sokrates dan Plato, dan mendengarkan Yesus berkotbah di atas bukit.

Terpenting dari semuanya itu, aku bisa melakukannya lagi, kapan saja. Di dalam buku-buku itu! Aku tinggal meraihnya di rak, dan mengambilnya untuk menyusuri saat-saat paling menyenangkan itu.

Sungguhkah membaca buku menjadi saat-saat yang paling menyenangkan? Dr. Franz Magnis-Suseno, guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, membenarkan hal itu melalui pengalaman sejak masa kecilnya. "Dengan membaca, suatu dunia luas dan menarik terbuka bagi saya. Saya selalu menikmatinya," tulisnya dalam "Memanusiakan Buku - Membukukan Manusia" (1997). Ia mengenangkan masa kecilnya, saat ibunya rutin tiap malam selama setengah jam membacakan buku yang sesuai dengan daya tangkap anaknya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Pada usia delapan tahun, ia mulai membaca sendiri. Buku-buku advonturir seperti Last Mohican, dan kemudian buku-buku Karl May dilalapnya. Pernah, di usia sepuluh tahun, karena membaca begitu banyak buku ibunya khawatir dan memperingatkan agar ia mengurangi membaca. Tapi itu tak digubrisnya. Pada usia lima belas tahun ia sudah asyik menelan sastra modern sungguhan. Ia membaca karya-karya Dostoevski. 

Tak ketinggalan dibacanya 3 jilid Saudara Karamasov dalam edisi yang tidak dipersingkat setebal 1.800 halaman. Ia juga membaca karya-karya Tolstoy dan Gogol serta para penulis roman Jerman. Ia juga mengaku terpesona oleh penulis-penulis Prancis seperti Bernanos dan Mauriac. "Sulit saya bayangkan masa muda saya, andaikata tidak membaca terus-menerus. Membaca bagi saya suatu pengalaman kebebasan, di mana sekaligus imajinasi mendapat sayap dan betul-betul terbang," katanya.

Sejalan dengan itu Dr. Lucia Binder, peneliti bacaan anak dari Austria, mengungkapkan bahwa fantasi tak boleh berhenti. Sastra anak mesti merangsang imajinasi menuju ke refleksi dan opini pribadi. Di masa lampau orang tua ingin melindungi anak-anak dari penderitaan dan menjauhkan mereka dari penggambaran dunia kehidupan yang terlalu realistis. 

Segala sesuatu yang menyedihkan dan dianggap bisa membuat anak mengucurkan air mata selalu dihindari. Sedapat-dapatnya diupayakan agar anak tidak melihat dan mendengar kejadian penuh penderitaan yang menyedihkan. Dunia anak adalah dunia yang indah, yang tabu untuk dicemari. Namun, pemikiran itu kini terkikis. Perkembangan multimedia cenderung menjadikan anak telah berkenalan dengan realitas dan persoalan kehidupan lebih dini dibanding masa lalu.

Buku anak semestinya mengikuti perkembangan ini. Ursula Wolfel, misalnya. Penulis Jerman ini dalam bukunya The Gray and The Green Fields, menyampaikan cerita-cerita realistis tentang anak-anak yang mengalami kesulitan; seorang anak Amerika Latin yang mengalami ketidakadilan sosial; seorang anak laki-laki yang mengalami kengerian perang; seorang anak Afrika Selatan yang mengalami rasialisme; dan lain sebagainya.

Penderitaan memang menyusahkan namun itulah fakta yang mesti diketahui pula oleh anak-anak. Bukankah kehidupan itu sendiri berunsur susah dan senang, untung dan malang? Berangkat dari berbagai cerita itu pikiran anak bisa menjadi terbuka. 

Pada dasarnya, buku memang bukan tujuan terakhir. Ia hanyalah sekadar media yang mengemban fungsi mulia menyampaikan informasi kepada pembaca. Dan, yang utama bukanlah membaca, melainkan mengerti makna isi buku untuk kemudian didayagunakan secara produktif dan konstruktif. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Tetapi, kapankah membaca bakal dialami menjadi saat-saat paling menyenangkan seperti ditulis Louis L'amour, atau menjadi pengalaman kebebasan karena bisa terbang dengan sayap-sayap imajinasi seperti dialami Franz Magnis-Suseno? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun