Akad Mudharabah: Apakah Akuntansi Syariahnya Sudah Benar?
Akad mudharabah dikenal sebagai salah satu pilar utama dalam perbankan syariah, yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan transparansi. Namun, dalam praktiknya, masih banyak ditemukan persoalan dalam implementasi akuntansi syariahnya. Salah satu yang paling sering terjadi adalah pengakuan pendapatan yang dilakukan secara estimasi (accrual), padahal seharusnya diakui berdasarkan realisasi keuntungan yang nyata.
Apakah praktik ini sesuai dengan prinsip syariah dan standar akuntansi yang berlaku? Bagaimana fatwa ulama dan PSAK 405 mengatur pengakuan pendapatan dalam akad mudharabah?
Artikel ini akan membahas berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan serta menawarkan solusi agar akuntansi syariah pada akad mudharabah benar-benar mencerminkan prinsip Islam.
Apa Itu Akad Mudharabah?
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang berarti "melangkah" atau "bepergian untuk berdagang." Dalam syariah, akad ini merupakan kemitraan antara:
Shahibul maal (pemilik modal)
Mudharib (pengelola usaha)
Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sementara kerugian finansial ditanggung pemilik modal, kecuali disebabkan oleh kelalaian pengelola.
Permasalahan Implementasi di Lapangan
Di lembaga keuangan syariah, sering terjadi: