Mohon tunggu...
Waridatul Afalia
Waridatul Afalia Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Economic

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tantangan dan Peluang Pengembangan Asuransi Syariah

10 Mei 2021   14:44 Diperbarui: 24 Mei 2021   22:40 2299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap kegiatan manusia tentunya dihadapkan dengan adanya suatu risiko atas ketidakpastian yang memungkinkan akan terjadinya suatu musibah. Berbagai musibah atas suatu risiko akan merugikan kita seperti kondisi ekonomi perseorangan yang menurun, perusahaan yang mengalami kesalahan kerja sehingga menimbulkan bencana, kebakaran, kecelakaan, sakit bahkan sampai meninggal dunia. Dengan adanya suatu risiko atas ketidakpastian ini menyebabkan manusia ingin memproteksi dirinya atau benda berharganya guna untuk mengurangi beban risiko tersebut. Upaya untuk memproteksi dari suatu adanya kemungkinan kerugian disebut dengan asuransi.

Asuransi Syariah hadir ditengah-tengah masyarakat guna sebagai proteksi bagi seseorang yang yang mengalami suatu risiko atau yang menanggung suatu risiko dengan berbasis prinsip dan nilai-nilai islam. Telah dijelaskan mengenai pengertian dari Asuransi Syariah sendiri didalam fatwa Dewan Syari'ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001, bahwa asuransi syari'ah (ta'min, takaful, tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset-aset dan atau tabarru', yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko bahaya tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari'ah. Di dalam Asuransi Syariah didalamnya terkandung nilai tolong-menolong, saling menanggung risiko, jujur, adil dan transparan.

Kegiatan perasuransian di Indonesia merupakan keberlanjutan dari peninggalan Pemerintah Hindia, hingga perkembangannya pun sampai masuk pada Asuransi Syariah. Asuransi Syariah sendiri berkembang di Indonesia diawali dengan diresmikannya PT Asuransi Takaful Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994 dengan fokus pelayanan pada asuransi jiwa. Selang waktu setahun kemudian beroperasilah Asuransi Takaful umum pada tahun 1995 dengan fokus pelayanan asuransi umum (asuransi kerugian/general). Menurut OJK (Otoritas Jasa Keuangan), ditahun 2019 Asuransi Syariah mengalami perkembangan dalam jumlah Perusahan Asuransi Syariah, Untuk UUS (Unit Usaha Syariah) mencapai total 49 Asuransi Syariah , dengan rincian 23 Takaful keluarga yang berfokus pada asuransi jiwa, 24 Takaful Umum yang berfokus pada kerugian dan terdapat 3 Retafakul. Tak hanya itu, terdapat 13 perusahaan yang telah spin off (aktifitas PT yang memisahkan usaha secara sebagian sehingga berakibat beralihnya beberapa aktiva dan pasiva) yang mana 7 diantaranya Tafakul keluarga, 5 lainnya Tafakul Umum dan sisanya Retafakul.

Dengan melihat perkembangan dan pertumbuhan Asuransi Syariah yang cukup signifikan terlebih lagi Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk muslim yang besar, maka Asuransi Syariah di Indonesia seharusnya memiliki peluang untuk pengembangan tersebut dimasa depan. Namun, perlu diingat dalam proses pengembangan pun akan melewati berbagai tantangan yang harus dihadapi.

Tantangan dalam perkembangan Asuransi Syariah ditinjau dari sisi eksternal ialah adanya  pandemi Covid-19. Yang mana pandemi ini telah tersebar hingga di berbagai penjuru dunia. Adanya Covid-19 ini pun tidak hanya berdampak pada kesehatan saja melainkan juga pada perekomian suatu negara. Telah banyak para ekonom yang memprediksikan bahwa perekonomian dunia akan melambat, begitu pula di Indonesia. Yang mana dengan adanya Covid-19 ini pergerakan perdagangan sangat dibatasi. Sedangkan tingkat ketergantungan Indonesia kepada negara tetangga (China) yang cukup tinggi sehingga menyebabkan melambatnya perekonomian di Indonesia, tak terkecuali bisnis dalam Asuransi Syariah.

Tantangan lainnya dari sisi internal ialah dengan merebaknya kasus yang ditandai dengan perusahaan plat merah, yakni asuransi Jiwasraya dan Asabri. Kecurangan dalam pengelolaan asuransi yang dilakukan oleh mereka menyebabkan turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap asuransi, tak terkecuali asuransi syariah sehingga diperlukan effort yang lebih untuk memperkenalkan dan membangun kepercayaan masyarakat.

Selain itu, jika ditinjau dari merosotnya inklusi keuangan syariah, menurut OJK yang merilis Survey Nasional Literasi menyebutkan bahwa hubungan korelasi antara tingkat literasi keuangan syariah dengan inklusi keuangan syariah berhubungan negatif. Padahal jika secara logika, kedua unsur tersebut seharusnya memiliki korelasi yang positif. Jika tingkat korelasi keuangan syariah meningkat maka inklusi keuangan syariah pun akan ikut meningkat, menurut pernyataan Taufik Hidayat. Dengan adanya hal ini maka perlu dikaji ulang mengapa hubungan korelasi ini tidak seusai dengan perkiraan teoritis. Ya meskipun kadang memang keadaan lapangan akan berbeda jauh dengan teori yang dicetuskan.

Modal merupakan suatu aspek yang sangat mempengaruhi pada kesiapan suatu kinerja dari suatu entitas perusahaan. Modal dasar untuk Asuransi Syariah telah tersedia di Indonesia, yakni 90% penduduk Indonesia merupakan beragama muslim. Tak lupa pula, berdasarkan sensus penduduk 2020, terdapat 70,72% jumlah penduduk diusia produktif dari total penduduk di Indonesia. Usia produktif ini berkisar 15-64 tahun, sedangkan diusia 20-34 disebut dengan kaum millenial, yang mana kaum millenial ini termasuk dalam kategori usia produktif. Seharusnya ini merupakan sasaran yang empuk yang menggiurkan serta peluang yang amat terang. Namun, meskipun dengan adanya jumlah penduduk mayoritas muslim bukan berarti  semuanya akan berjalan mulus begitu saja.

Menariknya lagi, kecenderungan dari kaum millenial ini adalah gemar dalam hal berbagi, berdasarkan riset dari Alvara. Dimana mereka memiliki kemurahan dan keikhlasan hati dalam melakukan kegiatan aktivitas sosial. Sedangkan menurut riset Accenture mengenai customer segmentation di Indonesia, sebagian besar kecenderungan dari sifat kaum millenial ia mandiri dan tak ingin membebani keluarga mengenai finansialnya terkhusus dari dampak risiko yang ia putuskan. Dengan itu maka didapatkan bawa kaum millenial menginginkan kemandirian dalam mengelola risiko. Secara implisit kecenderungan millenial tersebut membuka peluang untuk Asuransi Syariah, yang mana kedua kecenderungan tersebut sejalan dengan bagaimana Asuransi Syariah. Dengan adanya konsep tabarru yang menunjukkan rasa saling tolong-menolong di dalam Asuransi Syariah sehingga memiliki daya tarik sendiri bagi kaum millenial serta kecenderungan sifat kemandirian dalam memproteksi diri dari risiko sendiri

Secara sadar, kita tidak mau dirugikan dan kesulitan dalam berbagai transaksi yang kita pilih. Begitu pula transaksi dalam Asuransi Syariah. Asuransi Syariah tak bisa hanya mengandal modal itu saja, melainkan harus adanya inovasi-inovasi berkelanjutan yang dapat menguntungkan kedua pihak. Kita sadar dan mengerti tentunya, bahwa sekarang telah memasuki era 4.0. yang mana di era ini berkembang pesat teknologi yang dapat mempermudah dan membantu pekerjaan manusia. Tak terkecuali dalam bertransaksi, apalagi sekarang didominasi oleh para kaum millenial. Tentunya mereka akan cenderung untuk memilih metode yang lebih modern dan praktis. Sehingga diharapkan Asuransi Syariah dapat memenuhi apa dan bagaimana akan kebutuhan pasar saat ini

Menurut Prof Bambang Brojonegoro saat sebagai Kepala Bappenas, mengatakan bahwa salah satu peran penting Asuransi Syariah yakni dalam pembangunan nasional. Bentuk dari peran tersebut ialah dengan mendukung pembiayaan melalui berbagai investasi terhadap perusahaan Asuransi Syariah, terciptanya inklusifitas dari adanya peningkatan akses terhadap industri keuangan syariah. Dengan demikian maka diperlukan untuk mengajak para kaum millenial bekerja sama dalam pembangunan nasional

asuransi-60a884fbd541df39c02e5da2.jpeg
asuransi-60a884fbd541df39c02e5da2.jpeg
Kasus yang terjadi pada perusahaan asuransi berplat merah tadi menjadikan pertimbangan bagi Pemerintah disektor keuangan untuk mengubah Undang-Undang, termasuk peraturan dalam bidang perasuransian yang akan diberlakukan spin off pada Asuransi Syariah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Pasal 87 menyebutkan perusahaan perasuransian yang menjalankan sebagian kegiatan usaha dengan prinsip syariah diwajibkan untuk melakukan spin-off tepat 10 tahun setelah Undang-Undang tersebut ditetapkan atau jika dana tabarru' dan dana investasi peserta Unit Syariah telah mencapai paling sedikit 50% dari total nilai dana asuransi, dana tabarru', dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya. Hal ini dalam artian bahwa pada tahun 2024 sudah tiada lagi UUS (Unit Usaha Syariah) dan bertransformasi menjadi  Perusahaan Asuransi Syariah atau Reasuransi (Retafakul)

Peraturan tersebut juga mendatangkan tantangan dan peluang tersendiri bagi Asuransi Syariah. Nampaknya bagi Asuransi Syariah untuk menjalankan spin off ini cukup sulit karena harus menambahkan modal kepada kepada perusahaan asuransi syariah yang baru hasil spin off  sesuai dengan Peraturan OJK (POJK) Nomor 67 Tahun 2016. Secara sekilas spin off  ini menyulitkan serta berpotensi merampingkan indsutri Asuransi Syariah. Namun, sesungguhnya peraturan ini menguatkan industri dengan cara penambahan modal dan portofolio sehingga mengakibatkan peningkatan size perusahaan sehingga diharapkan Asuransi Syariah agar bisa lebih fokus dan mandiri dalam memperluas bisnisnya.

Terdapat beberapa tantangan dengan adanya peraturan spin off , yakni kurangnya sumber daya manusia yang memadai dan harus menyiapkannya sesuai dengan standar. Dampak dari adanya spin off ini akan menjadikan instansi baru karena perusahaan akan terpisah dari induknya sehingga diperlukan untuk tenaga untuk memanajemen. Selanjutnya, minimnya dana untuk melakukan promosi, sosialisasi serta edukasi tak lupa pula dengan adanya syarat adanya penambahan modal bagi perusahaan Asuransi Syariah. Selain itu diperlukan pula inovasi-inovasi baru untuk mendorong eksistensi dari perusahaan Asuransi Syariah itu sendiri agar sesuai dengan apa kebutuhan dari konsumen dan yang sesuai dengan prinsip syariah serta menerapkan digitalisasi pada inovasi produk tersebut.

Sedangkan peluang dari adanya adanya peraturan spin off , yakni adanya regulasi dari pemerintah untuk keberlangsungan dan memajukan industri keuangan syariah seperti KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah) sebagai pengembangan ekonomi dan keuangan syariah dengan menyatukan seluruh pemangku kepentingan. Dari adanya KNEKS ini diharapkan untuk menjadi media percepatan dalam memperluas dan mengembangkan ekonomi syariah. Selain itu meskipun jumlah penduduk Indonesia mayoritas muslim, namun tingkat penetrasinya masih rendah. Jika kita lihat dari sisi lain, hal ini mengandung peluang yang harus diselesaikan oleh Asuransi Syariah untuk memperluas jangkauan pasarnya agar lebih optimal.  Meningkatnya kalangan kelas menengah keatas, hal ini menjadi peluang yang harus dieksekusi karena dengan adanya tingkat kalangan menengah keatas mereka akan berusaha melindungi segala aset-aset yang mereka miliki sehingga Asuransi Syariah diperlukan untuk mengeluarkan inovasi-inovasi sesuai dengan kebutuhan agar diminati. Terakhir, sekarang telah bersemarak ajakan mengenai gaya hidup halal, dimulai dari pariwisata, makanan, dan mode pakaian. Dengan adanya hal ini tentunya menguntungkan bagi pihak Asuransi Syariah, maka perlu disambut dengan baik agar menuai hasil yang maksimal.

Maka dapat disimpulkan tantangan dan peluang dalam pengembangan Asuransi Syariah di Indonesia adalah :

  • Tantangan
    • Adanya pandemi Covid-19 yang mengakibatkan melemahnya perekonomian dan ini berdampak pula pada Asuransi Syariah
    • Adanya image buruk terhadap asuransi berplat merah yang mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap asuransi
    • Merosotnya inklusi keuangan syariah. Hal ini dikarenakan dari adanya hubungan korelasi yang negatif antara tingkat literasi keuangan syariah dengan inklusi keuangan syariah
    • Dengan adanya Peraturan Undang-Undang untuk melakukan spin off, maka diperlukan sumber daya manusia yang memadai dan mumpuni
    • Dengan adanya Peraturan Undang-Undang untuk melakukan spin off, diperlukan dana yang memadai untuk memenuhi peraturan yang telah tertera seperti jumlah penambahan modal, kegiatan promosi, literasi dan edukasi
  • Peluang
    • Jumlah penduduk Indonesia mayoritas beragama muslim serta didominasi oleh kaum millenial, yang mana kaum millenial ini termasuk dalam katagori didalam usia produktif
    • Kecenderungan kaum millenial yang suka berbagi dan mandiri. Ia tidak ingin membebani masalah finansialnya kepada keluarga dan ia memiliki kecenderungan untuk memproteksi risiko dari apa yang ia putuskan. Hal ini sejalan dengan prinsip, nilai dan mekanisme pada Asuransi Syariah yang menerapkan adanya dana tabarru untuk membantu sesama dan Asuransi Syariah sendiri sebagai lembaga yang mengelola risiko
    • Sejalan dengan adanya Peraturan Undang-Undang untuk melakukan spin off, pemerintah telah menyiapkan beberapa regulasi dan telah mengeluarkan KNEKS sebagai media percepatan dalam memperluas dan mengembangkan ekonomi syariah
    • Adanya peluang untuk menjangkau dan membidik pasar karena saat ini penetrasi pasar dari Asuransi Syariah masih dalam tingkatan yang rendah
    • Meningkatnya kalangan kelas menengah, hal ini akan membawa keuntungan bagi Asuransi Syariah karena mereka memiliki kecenderungan untuk memproteksi aset mereka pada pihak Asuransi Syariah
    • Adanya gaya hidup halal yang disemarakkan dari berbagai aspek, tak terkecuali dengan produk jasa yang ditawarkan oleh Asuransi Syariah sehingga hal ini dapat menguntungkan pihak Asuransi Syariah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun