Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pria Baik-baik di Keramaian Beringharjo

13 Agustus 2012   13:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:51 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemeja biru, celana hitam, sepatu cokelat. Tampak kurang serasi, tapi biarkan saja, itu urusannya.

Ia melangkah bersama ratusan pasang kaki. Menuju arah yang sama di land mark kota Yogyakarta.

Hari ini, Ramadhan hari ke-23.

Sepuluh meter jelang pintu pasar, trotoar tiba-tiba menghilang. Sebenarnya bukan di sini saja trotoar menghilang. Sedari awal ia melangkah banyak trotoar sudah berganti rupa jadi lahan parkir, hanya menyisakan celah sempit untuk pejalan kaki. Di beberapa ruas bahkan nyaris tak ada lagi. Kaum pedestrian harus “turun ke jalan” untuk dapat melangkah meski itu membahayakan karena harus bersaing dengan motor, mobil dan bis yang lewat. Tapi meskipun demikian tempat ini tetap saja disukai orang dan jadi cerita favorit bagi  pendatang luar kota. Malioboro terlanjur jadi primadona. Tak peduli seperti apa semrawutnya kini.

Sepuluh meter jelang pintu pasar, langkahnya terhenti. Puluhan motor terparkir hadap kanan kiri, serong sana sini serba semrawut. Puluhan orang terpaksa terhenti di sana termasuk dirinya. Dan untuk memutar rupaya perlu usaha lebih keras lagi karena harus berebut jalan dengan yang lain. Hanya hembusan nafas agak keras dan gelengan kepala yang tampak darinya.

Kini ia telah sampai di depan pintu pasar. Menggulung lengan panjang kemeja dan segera masuk. Berjalan ala putra solo ia berusaha menapaki satu persatu ubin pasar. Keramaian pasar begini bukan hal baru baginya. Tak asing karena semasa kecil ia suka diajak ibunya berbelanja ke pasar. Dan setelah menginjak remaja ia tetap setia menemani ibunya, membantu membawa belanjaan karena ibunya kalau berbelanja tak pernah sedikit, menemani sekaligus menjaga sang ibu kalau-kalau ada preman pasar mencoba mencuri uang di dompet ibu. Sungguh anak baik-baik.

Maju beberapa tahun, anak itu sudah tumbuh besar. Dan pasar tetap jadi tempat mengasyikkan baginya untuk melihat-lihat tingkah laku manusia. Bedanya ia sudah makin jarang ke pasar bersama ibunya. Pasar yang dulu rajin dikunjunginya bersama sang ibu pun telah digusur, berganti rupa menjadi taman dan pusat hiburan. Alasan berikutnya karena ia dan ibunya kini terpisah ratusan kilometer.

Benar-benar ramai. Meski tak sungguh-sungguh sesak, mungkin karena sudah hampir sore. Mungkin juga karena warga Jogja sudah banyak yang mudik meninggalkan kota. Tapi tetap saja, berjalan di lorong pasar tak pernah lega. Lima menit pertama ia hanya bisa lima kali melangkah. Lajur masuk dan keluar sudah bercampur. Yang ingin keluar mendesak ke sana, yang ingin masuk mendesak ke sini. Saling dorong pun  terjadi. Tak jarang sebagian orang memilih agak kasar tak pandang apakah yang ia dorong wanita atau orang tua. Semua sudah kepanasan. Namun ia tetap tenang, tak ikut dorong-mendorong. Sungguh pria baik-baik.

Mencapai bagian dalam pasar suasana lebih lengang. Mungkin karena sebagian pengunjung telah menyebar ke beberapa los dan lantai. Laki-laki itu, perlahan ia berhasil menyesuaikan langkahnya di keramaian pasar. Satu gang ia masuki, pandangannya menoleh ke kanan kiri. Warna warni pakaian terpajang, suara penjual berteriak mencoba menggoda siapapun yang lewat untuk sudi berkunjung. Sementara di kios yang lain 5 sampai 6 orang berdiri sambil mematut-matutkan diri. Ada pula yang sedang menjalani tahap penjajakan alias tawar menawar, tapi ada juga yang sudah sepakat menjalin akad, sebuah deal tercapai setelah adu harga.

Asyik sekali mengamati semua ini. Ia pun mulai lupa diri. Lupa tujuannya kemari adalah membeli oleh-oleh lebaran yang tinggal hitungan hari.

Lepas dari satu los, ia melangkah ke los berikutnya. Ceritanya masih sama, harus berjalan ala putra solo. Pemandangannya pun masih sama, ada 5 sampai 6 orang berdiri sambil mematut-matutkan diri dengan gaun pilihan. Ada pula yang sedang menjalani tahap penjajakan alias tawar menawar, tapi ada juga yang sudah sepakat menjalin akad. Sebuah deal tercapai setelah adu argumentasi harga.

13448610551750751420
13448610551750751420

Banyak los sukses ia jelajahi. Berbagai penjual ia lewati. Tangannya masih kosong. Tidak kosong sebenarnya, ia masih menggenggam kamera. Tapi memang belum ada tas kresek hitam di sana.

Ia melanjutkan langkah, kembali berdesak-desakkan. Peluh keringat mulai keluar. Panas makin terasa. Dan teriakkan penjual es yang berkeliling di keramaian pasar seolah terdengar lebih keras. Beberapa orang tampak segar dengan es teh di genggaman. Entah apakah mereka tidak berpuasa atau tadinya berpuasa namun akhirnya menyerah demi baju lebaran.

Penjual es teh berlalu di depannya. Disusul dari  belakang penjaja jus melewatinya. Lalu dari sisi kanan penjual es dawet ikut menyapa. Tapi ia tetap tak peduli. Pria Baik-Baik harus bisa menahan godaan puasa. Pandangannya tetap fokus ke depan. Hanya sesekali saja pandangannya teralihkan. Lihatlah, wanita berkerudung biru itu. Dan lihatlah lagi gadis berpakaian kotak-kotak dan berkacama yang melintas di depannya tadi. Tapi itu cuma sebentar saja. Ia kembali mengingat tujuannya kemari. Berbelanja oleh-oleh lebaran yang tinggal hitungan hari.

Puas di lantai satu ia naik ke lantai dua. Di sana ia bersandar sebentar di tangga. Meski ramainya tak beda dengan lantai satu, tapi lantai dua masih menyisakan beberapa sudut lengang untuk orang beristirahat. Di sana ia berusaha mengatur strategi belanja lagi. Menyusun prioritas los dan kios mana yang akan ia tuju. Ia juga mengingat lagi tips-tips yang diberikan ibu-ibu dari twitternya sebelum ia berangkat tadi. Ibu pertama memberi tips : “harus berani tawar-menawar sama penjualnya..”. Ibu kedua : “kalau nggak dikasih tinggalin saja...”. Lalu ibu tips dari ibu ketiga : “kalau nggak ada yang cocok, nggak usah beli..”. Hmm..tips yang standar sekali. Tapi katanya itulah kompetensi dasar yang harus dimiliki seseorang agar sukses di dalam pasar.

Sepuluh menit bersandar ia sudah merasa cukup menyusun ulang rencana. Sekarang saatnya kembali berjalan. Tapi, panasnya lantai dua rupanya juga tak beda dengan lantai satu. Ia pun bersandar lagi. Memasang headset di telinga, memutar lagu secara acak. “Tak ada yang harus kita sesali..semua indah yang pernah kita alami, meskipun terbatas dan tak mungkin terikat janji abadi..aku dirimu dirinya..”. Oh, mendadak makin panas. Ia pun mencabut headset, salah lagu. Ia melangkah turun kembali. Lagi-lagi menjelajahi los demi los.

13448611951331695006
13448611951331695006

Satu jam lebih beberapa menit berlalu, ia memutar langkah.  Raut mukanya biasa saja. Hanya sedikit kucel oleh keringat. Kali ini meski harus melangkah lagi ala putra solo, tapi tak begitu berdesakkan karena hampir seluruhnya menuju arah yang sama, pintu keluar. Pasar sudah hampir tutup.

Ia  berjalan menuju selatan. Langkah kakinya berayun santai. Di tangannya sebuah kantung plastik hitam sudah tergenggam. Sore ini terasa melelahkan baginya. Sampai di selatan ia duduk sebentar di kursi di bawah pohon. Membuka lagi kameranya, tersenyum pada beberapa foto.

Ya Tuhan, ia lupa waktu, sebentar lagi waktu berbuka. Ia pun beranjak, ia tak boleh pulang lewat malam.

Sampai di rumah waktu berbuka tinggal beberapa menit lagi. Ia pun membuka kantung plastik hitam itu. Isinya adalah :

1344860740301554550
1344860740301554550

Getuk Mbah Karni, satu-satunya pedagang getuk tradisional yang masih setia di Pasar Beringharjo Yogyakarta.

Mana pakaiannya ?. Ternyata ia tak jadi berbelanja pakaian hari ini. Tawar menawar harga adalah kelemahannya. Apalagi jika harus menawar dengan membanting harga, ia tidak tega. Rupanya Pria Baik-Baik memang tidak tega-an. Tapi ia tak jera, esok ia akan kembali ke sana. Tujuannya ?. Entah, mungkin masih sama, tapi mungkin juga beda. Hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Yogyakarta, 13 Agustus 2012.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun