Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memaknai Mudik Sebagai Sinergi antara Agama dan Budaya

5 Agustus 2013   10:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:36 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu kebiasaan yang mungkin tak akan pernah hilang menjelang hari raya Idul Fitri adalah mudik. Mudik atau pulang kampung memang telah menjadi tradisi yang diwariskan dan dilestarikan sekian lama oleh masyarakat Indonesia. Meskipun tidak hanya berlaku dalam kehidupan masyarakat muslim atau menjelang hari raya Idul Fitri saja, namun tak dipungkiri jika mudik menjelang lebaran telah menjadi fenomena.

Jutaan orang bergerak pulang menuju kampung halaman. Terminal bis, stasiun kereta, pelabuhan dan bandara menjadi sangat sibuk dari biasanya. Berbagai jenis moda transportasi pun bekerja keras mengantarkan jiwa-jiwa yang merindukan kampung halaman. Lebaran 2013 ini diperkirakan 24 juta pemudik bergerak menuju  kampung halaman. Jumlah yang setara dengan 90% penduduk Malaysia.

Meski ditempatkan sebagai sesuatu yang tak ada kaitannya dengan ajaran Islam namun mudik tak pernah terhapus sebagai tradisi. Mudik merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri sebagai kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia. Mudik ditempatkan sebagai bahasa budaya sementara Idul Fitri adalah bahasa agama.

Mudik merupakan bentuk sinergi antara ajaran agama dengan budaya atau tradisi masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah tradisi mudik telah mengakar secara kuat. Sementara dalam pandangan agama berbagai tradisi dalam mudik diyakini memiliki landasan. Dengan demikian makna mudik sebenarnya tak hanya sebagai kebiasaan pulang kampung melainkan erat kaitannya dengan berbagai sifat dan dimensi kehidupan manusia.

Secara kultural mudik memang sebuah warisan atau bahkan keharusan. Tapi secara moral dan spiritual mudik juga menjadi wujud bakti anak kepada orang tua. Kebiasaan sungkeman, meminta maaf hingga berziarah mendoakan anggota keluarga yang telah tiada menunjukkan jika mudik bukan hanya perjalanan fisik namun juga rohani. Sungkeman atau cium tangan orang tua bukan hanya bentuk kontak fisik melainkan memiliki makna secara spiritual karena orang tua dapat dianggap sebagai perantara bagi seorang anak dalam mengenal Tuhan. Pada akhirnya Ikatan batin dengan orang tua serta kewajiban mendoakan anggota keluarga seperti ini turut melestarikan melestarikan tradisi mudik.

Mudik juga mengukuhkan sifat manusia sebagai makhluk sosial. Silaturahmi yang terjalin selama mudik merupakan interaksi manis antara seorang manusia dengan sesamanya. Melalui silaturahmi kita diingatkan kembali bahwa seorang manusia tak akan bisa mempertahankan hidup dan kehidupannya tanpa bantuan dan interaksi dengan sesamanya. Pada akhirnya silaturahmi sebagai bagian dari mudik menjadi sarana yang sangat humanis dan interaktif untuk membangun toleransi karena mudik dan silaturahmi juga dijalankan dan dijalin oleh banyak masyarakat dari berbagai latar perbedaan termasuk agama.

13756737151843347779
13756737151843347779

Demi mudik keselamatan dan kenyamanan seringkali dinomorduakan.

Secara psikologi mudik mencerminkan sifat manusia yang perindu. Mereka yang mudik adalah jiwa-jiwa yang rindu sekaligus lelah. Kerasnya kehidupan di kota dengan segela rutinitas yang membuat penat membuat orang merindukan kembali kehidupan masa kecilnya yang indah dengan suasana pedesaan yan asri. Dengan demikian mudik tak hanya pulang kampung untuk merayakan lebaran namun juga menjadi sarana nostalgia sekaligus pengobat jiwa-jiwa yang lelah.

Dalam dimensi sosial mudik juga menjadi saran untuk berbagi dan tolong menolong. Bukan hanya karena kewajiban mengeluarkan zakat fitrah menjelang Idul Fitri, namun juga berbagi rezeki dalam beberapa hal lainnya. Tradisi memberikan oleh-oleh dari kota kepada kerabat dan tetangga di kampung. Kebiasaan membagikan selembar uang kertas baru kepada anak-anak. Beberapa orang bahkan kerap memberikan tumpangan kendaraan kepada tetangganya yang hendak mudik menuju daerah yang sama.

Namun tak dipungkiri juga bahwa mudik juga kerap menjadi sebuah euforia dan media unjuk eksistensi diri. Dalam niat mudik seringkali terselip keinginan yang kuat untuk mempertontonkan keberhasilan. Dalam persiapannya pun mudik sudah didahului dengan gaya hidup hedonis dan konsumtif. Hasrat dan keinginan mudik yang tinggi seringkali membuat orang memaksakan diri demi sebuah prestise. Akhirnya mudik justru menghadirkan berbagai masalah besar seperti kemacetan, kecelakaan hingga kejahatan. Mudik juga menyebabkan arus tandingan yang selalu penuh masalah yakni urbanisasi. Tak heran jika banyak pendapat yang menyimpulkan bahwa tradisi mudik di Indonesia telah melahirkan keretakan budaya dan menggeser spirit yang seharusnya dibangun dari Idul Fitri.

Mudik sebaiknya dimaknai sebagai sarana meningkatkan ikatan spiritual antara manusia kepada penciptanya dengan kembali ke fitri (kesucian). Melalui mudik manusia bisa senantiasa bersyukur karena masih dan selalu diberi kenikmatan oleh Sang Pencipta. Kenikmatan atas perjumpaan yang indah dengan Ramadan dan Idul Fitri. Kenikmatan untuk memperoleh rezeki dan kemudian bisa berbagi. Kenikmatan karena bisa hidup di tengah-tengah masyarakat yang hangat dan kehidupan tetangga yang saling menghargai. Serta kenikmatan karena memiliki kesempatan berbakti dan masih  bisa mencium tangan kedua orang tua.

Akhirnya selamat mudik, Selamat Idul Fitri dan mohon maaf lahir batin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun