Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ini Mudik! (Bukan Pulang Kampung Biasa)

18 Juli 2014   17:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:58 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Ramadhan sudah mendekati ujungnya. Saatnya bagi banyak orang untuk mempersiapkan ritual puncaknya, yakni mudik.



[caption id="attachment_315862" align="aligncenter" width="600" caption="Kendaraan pribadi dengan barang bawaan di atapnya sedang melintas di jalur selatan Jawa pada musim mudik 2013."][/caption]

Mudik telah menjadi kebiasaan yang terus berulang tiap tahunnya di Indonesia. Seperti sudah menjadi “kewajiban” setiap orang yang punya kampung halaman untuk mudik di kala lebaran Idul Fitri.Mudik memang bukan bagian dari kesempurnaan ibadah puasa, namun perjalanan “pulang kampung” membuat lebaran menjadi sempurna.Mereka yang tidak setuju dengan hal ini dengan beragam alasan seperti tidak punya “kampung halaman”, saya yakin di hati kecilnya mengingini mudik seperti kebanyakan orang.

Mudik juga telahmenjadi fenomena negeri karena intensinya yang begitu tinggi. Banyak sumber daya negeri yang dikerahkan untuk “melayani” pemudik, mulai dari sektor perhubungan, perdagangan hingga aparat keamanan dan pihak swasta semua bekerja dengan kapasitas tinggi di saat mudik lebaran.Bayangkan juga ada puluhan juta orang melakukan migrasi secara serempak.Departemen Perhubungan memperkirakan jumlah pemudik tahun 2014 akan mencapai27.894.914 orang. Luar biasa, itulah pulang kampung ala Indonesia yang jumlahnya bahkan hampir setara dengan seluruh penduduk Malaysiajika mereka hijrah dari negaranya.

Hanya dalam hitungan beberapa hari jutaan orang melintas batas kota hingga pulau. Migrasi yang juga disertai dengan perpindahan kendaraan, barang dan uang dalam jumlah besar ini benar-benar telah menjadi bagian tradisi yang sangat Indonesia.

[caption id="attachment_315863" align="aligncenter" width="600" caption="Sebuah mini bus bersiap mengangkut pemudik dengan barang bawaannya. Bis-bis kecil menjadi transportasi umum utama bagi para pemudik jarak dekat di daerah sekitar Purwokerto, Jawa Tengah."]

1405651879730959289
1405651879730959289
[/caption]

Tradisi mudik telah menembus batas-batas sosial budaya dalam masyarakat kita. Tak hanya mereka yang kaya, masyarakat yang kesehariannya hidup sederhana atau kekurangan pun akan melakukan hal yang sama. Tua, muda, bahkan begitu sering juga kita saksikan anak-anak dan balita turut serta dalam gairah orang tuanya pulang kampung. Bukan hanya dilakukan oleh umat muslim yang merayakan Idul Fitri, momen lebaran juga diikuti oleh masyarakat non muslim untuk pulang kampung.

Padahal perjalanan mudik bukanlah hal yang ringan. Perlu persiapan fisik, mental dan biaya yang tak sedikit. Tak jarang ada yang menghabiskan uang tabungan selama 1 tahun hanya untuk bisa merasakan kampung halaman selama seminggu. Mudik juga tidak lengkap tanpa oleh-oleh karena “syarat sah” mudik lebaran adalahmembawa beberapa tas yang penuh terisi atau beberapa lembar uang kertas baru di amplop yang tak boleh terlipat.

[caption id="attachment_315864" align="aligncenter" width="526" caption="Pemandangan khas musim mudik di jalur selatan DIY-Jawa Tengah. Hal yang serupa terjadi di hampir semua daerah selama musim mudik."]

1405652070740628854
1405652070740628854
[/caption]

[caption id="attachment_315866" align="aligncenter" width="511" caption="Mudik!"]

14056521771736368834
14056521771736368834
[/caption]

Belum lagi waktu perjalanan mudik yang dipastikan menjadi berkali-kali lipat lebih lama dari perjalanan di hari biasa. Melintas provinsi yang pada hari biasatuntas selama belasan jam menjadi perlu perlu berganti hari untuk bisa sampai. Jarak 2 kota yang biasa ditempuh selama 5 jam menjadi merentang 15 jam di musim mudik. Ini yang keluarga saya alami tahun lalu.

[caption id="attachment_315868" align="aligncenter" width="506" caption="Keluarga pemudik dengan anak-anaknya melintas di jalur Solo-Yogyakarta dengan menggunakan mobil bak terbuka. Kendaraan bak terbuka yang dimodisikasi menjadi satu sarana mudik yang dipilih sebagian orang meski resikonya tinggi."]

1405652416637939435
1405652416637939435
[/caption]

Resiko dalam perjalanan mudik juga bukan hanya kemacetan. Kelelahan fisik yang dialami oleh para pemudik ditambah berbagai faktor dalam perjalanan telah membuat sejumlah nyawa melayang.Pada tahun 2013, hingga H+2 Lebaran, korban meninggal dunia akibat kecelakaan mudik mencapai 471 orang. Jumlah ini memang menurun dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 539 korban meninggal.Tapi jumlah itu terlalu banyak untuk diabaikan. Maka ketika arus mudik terus bertambah setiap tahunnya, kita boleh merasa heran dan akhirnya mengakui bahwa mudik memang bukan perjalanan pulang kampung biasa hingga harus ada ratusan nyawa yang terenggut setiap kali tradisi ini berulang.

Kitapun juga pantas merasa heran mengapa pemudik rela berlelah-lelah dan mati-matian di jalanan dengan menghabiskan banyak uang, tenaga serta berteman dengan resiko lainnya. Padahal pulang kampung bisa dilakukan kapan saja setelah Idul Fitri. Rasa heran yang kemudian kita sepakati untuk dibuang karena kitapun bagian dari ini semua.

[caption id="attachment_315870" align="aligncenter" width="540" caption="Pemudik motor menjadi fenomena paling kuat setiap musim mudik tiba."]

1405652581530471888
1405652581530471888
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun