***
Arok Dedes memang sebuah sastra atau novel sejarah yang tidak serta merta bisa dijadikan referensi sejarah. Namun, bukankah sastra yang baik bisa mencerminkan kondisi masyarakat dan zaman tertentu?Â
Begitu pula sastrawan yang baik bisa menyampaikan pengetahuan tentang realitas secara kreatif. Dengan intuisi dan perspektif yang dimiliki, sastrawan menghadirkan alternatif kebenaran. Artinya, sastra merupakan cara atau bentuk lain untuk menampilkan dan memperjelas realita.
Melalui sastra bisa didapatkan pengalaman-pengalaman yang tidak hadir dalam buku-buku sejarah. Pengalaman-pengalaman itu mungkin akan membawa kita pada pengetahuan atau pengertian lain tentang suatu persoalan. Dalam hal ini pemahaman bahwa agama-agama berkembang di Nusantara secara damai boleh jadi memiliki alternatif yang sedikit berbeda.
Membaca Arok Dedes seperti kita mengalami "kenyataan" masa silam yang sebenarnya. Meski novel sejarah berbeda dengan fakta sejarah, Arok Dedes memberi konteks dan makna yang logis. Salah satunya untuk melacak jejak intoleransi yang masih sering terjadi di tengah masyarakat sekarang.
Secara umum kerukunan di Indonesia masih dibilang terjaga. Namun, di akar rumput letupan-letupan kecil juga mudah disulut. Seperti ada rasa ketidaksenangan yang terpendam lama dan pada satu titik akhirnya terlampiaskan.Â
Berbagai peristiwa intoleransi seolah menandakan bahwa potret keakraban yang ditunjukkan oleh para pemimpin agama di acara-acara besar dan kedekatan pemuka-pemuka agama di seminar tentang kerukunan tak meresap sempurna hingga ke bawah. Ataukah sebaliknya, keakraban yang dipertontonkan di acara-acara itu belum sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapisan terdalam masyarakat?
Beberapa kalangan menilai menguatnya intoleransi di tengah masyarakat merupakan pengaruh ideologi transnasional. Itu bisa diterima dan memang bisa dibuktikan. Namun, tidak bisa diabaikan kemungkinan adanya faktor lain yang berasal dari dalam tubuh masyarakat kita sendiri. Ketidaksenangan terhadap kelompok keyakinan lain yang diekspresikan dalam bentuk intimidasi, ujaran kebencian, pelarangan ibadah, penolakan tempat ibadah dan sebagainya, mengindikasikan ada yang belum selesai dalam hal penerimaaan terhadap keberagaman.Â
Ada citra kedamaian yang belum sepenuhnya damai. Mungkinkah itu warisan dari masa silam seperti yang dikisahkan dalam Arok Dedes?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI