Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arok Dedes, Melacak Jejak Intoleransi pada Masa Lampau

23 April 2025   08:41 Diperbarui: 23 April 2025   08:41 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arok Dedes (dok. pribadi).

"Karunia terbesar yang paling diinginkan manusia ialah kekuatan menguasai dan mempengaruhi sesamanya"

Saat membaca ulang novel "Arok Dedes" karya Pramoedya Ananta Toer beberapa waktu lalu, kutipan di atas terasa amat mengusik.

Arok Dedes bisa dibaca sebagai kisah sepak terjang para pemburu kekuasaan yang saling bersekutu sekaligus berkhianat demi menjadi yang paling berkuasa. Kebaikan dan kelaliman, kemuliaan dan kenistaan, keteladanan dan keburukan lebur tanpa batas yang tegas hingga tokoh protagonis dalam Arok Dedes pun bukan sosok pahlawan yang suci.

Tak sekadar intrik perebutan kekuasaan, di kedalaman lain Arok Dedes juga menghadirkan dinamika kehadiran agama-agama di tengah masyarakat. Arok Dedes bisa dibaca sebagai kisah yang diwarnai ketidakrelaan dan kecemburuan suatu kelompok keyakinan atau agama terhadap keyakinan lain. Secara ringkas Arok Dedes bisa diceritakan menurut perspektif berikut:

"Tumapel yang saat itu dipimpin oleh Tunggul Ametung dianggap semakin bercorak Hindu Wisnu. Kondisi tersebut membuat para pemuka Hindu Syiwa tersisih dan tidak lagi dominan pengaruhnya. Mereka tidak lagi berada di lingkaran dekat kekuasaan. Tak lagi pula dilibatkan dalam urusan-urusan keagamaan di kerajaan maupun di tengah masyarakat Tumapel. Raja dan pejabat tidak lagi menganggap para pemuka Syiwa sebagai tokoh yang perlu dimintai pertimbangan-pertimbangan.

Para pemuka Syiwa menganggap para penganut aliran Wisnu sebagai kelompok yang lebih rendah sehingga tidak pantas memimpin atau menempati kedudukan yang lebih tinggi. Selain menyembah dewa yang berbeda, pemuka Syiwa menilai beberapa ritual pemuja Wisnu telah menyimpang. Hirarki sosial yang ditetapkan oleh penguasa-penguasa penganut Wisnu dianggap merusak tatanan kasta menurut pemuja Syiwa.

Pertentangan antar pemeluk Hindu yang berbeda aliran tersebut mula-mula tidak secara terbuka ditunjukkan. Hanya dalam pertemuan-pertemuan internal pemuka Syiwa menggerutu dan mengungkapkan ketidaksenangan mereka atas semakin kuatnya eksistensi serta pengaruh aliran Wisnu di kerajaan.

Sementara penganut Syiwa dan Wisnu memendam iri dan ketidaksenangan, terhadap Budha juga muncul pandangan curiga. Apalagi setelah penguasa lokal memperlihatkan perhatiannya yang besar pada "agama baru" tersebut. Pembangunan candi-candi Budha dicurigai mengambil batu dari bangunan-bangunan Hindu.

Bagai api dalam sekam, kecemburuan dan rasa iri yang menghinggapi para pemuka agama di Tumapel mendapatkan bahan bakar. Kesewenang-wenangan penguasa Tumapel menjadi momentum bagi pemuka-pemuka agama untuk mensponsori kudeta atau pemberontakan.

Arok maupun tokoh-tokoh pemberontak lainnya masing-masing memiliki penyokong utama dari kalangan "orang suci". Arok didukung oleh Lohgawe, sedangkan Kebo Ijo dikendalikan oleh Belangkaka. Mereka tidak rukun satu sama lain. Namun sama-sama menghendaki jatuhnya Tunggul Ametung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun