Dari sini nampak bahwa perbedaan penulisan tidak hanya dijumpai pada buku-buku dari  penerbit yang berbeda. Satu penerbit pun ternyata tidak konsisten dalam mencetak nama Nh. Dini pada setiap karya.
Pada tahun 1987 CV Rosda menerbitkan "La Barka". Nama "NH DINI" tercetak besar di sampul depan dan halaman pertamanya. Lalu Penerbit Djambatan menerbitkan "Jalan Bandungan" dengan "Nh. DINI".Â
Biografi Amir Hamzah yang diterbitkan oleh Gaya Favorit Press juga mencantumkan "Nh. Dini" sebagai penulis. Sedangkan Yayasan Obor Indonesia ketika menerbitkan terjemahan "Sampar" menuliskan "NH. Dini" sebagai pengalih bahasa.
Karya terakhir Nh. Dini berjudul "Gunung Ungaran" diterbitkan pada 2018 oleh Media Pressindo. Pada sampul depannya tertulis "Nh. Dini". Menariknya pada lembar terakhir dijumpai "Nh. Dini", "N.H. Dini" dan "NH Dini" yang ditulis secara bergantian. Lagi-lagi nampak ketidakkonsistenan penerbit atau penerbit ingin menyampaikan pesan secara tersirat bahwa Nh. Dini bisa dan boleh dicantumkan namanya dengan banyak versi penulisan.
**
Kini kita tahu beberapa versi penulisan nama Nh. Dini. Setidaknya ada yang menganut "Nh. Dini", "Nh Dini", "NH. Dini", "NH Dini", dan "N.H. Dini".
Agaknya Nh. Dini tidak keberatan dengan ragam versi tersebut. Sebab pada beberapa buku yang diterbitkan ulang penulisan nama-nama itu tetap dibiarkan. Kemungkinan Nh. Dini tidak memberikan catatan koreksi. Tidak pula meminta agar penulisan namanya diganti atau disesuaikan agar seragam.
Walau demikian sebenarnya asal-usul sebutan Nh. Dini pernah diungkap lewat buku "Sekayu". Dalam buku tersebut Nh. Dini menyebut nama-nama yang pernah ia pakai sebagai penulis sampai akhirnya memutuskan satu nama yang ia kehendaki untuk seterusnya.
Perlu diketahui bahwa Nh. Dini terlahir dengan nama Nurhayati Sri Hardini. Saat masih duduk di kelas 2 SMP, ia telah menulis secara profesional. Honor pertama yang diterimanya sebesar Rp15. Karangan-karangan yang ditulisnya pun rutin mengisi siaran RRI Semarang.Â