Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Melihat Ahok di Kementerian Kelautan dan Perikanan

27 November 2020   15:20 Diperbarui: 27 November 2020   17:46 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok di Kompasianival 2014 (dok. pri).

Presiden Jokowi telah menunjuk pemangku ad interim menteri Kelautan dan Perikanan usai Edhy Prabowo ditangkap KPK. Ia adalah "super menteri" Luhut Binsar Panjaitan. Walau demikian Presiden diminta segera menetapkan menteri yang baru mengingat kementerian ini membawahi urusan strategis dan vital dalam pengelolaan kekayaan alam Indonesia.

Urgensi untuk memilih menteri baru pengganti Edhy juga mempertimbangkan indikasi adanya tangan-tangan mafia yang telah mencampuri berbagai kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan semasa Edhy menjabat. Mafia-mafia itu mungkin tidak hanya berasal dari luar, tapi patut diduga pula melibatkan orang-orang penting di balik dinding kementerian. Mereka perlu segera dijaring dan disingkirkan.

Perampokan kekayaan laut melalui praktik korupsi serta suap dipastikan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Terkait kasus ekspor benih lobster yang menjerat Edhy saja potensi kerugian negara ditaksir lebih dari 800 miliar rupiah. Nilai tersebut bisa bertambah karena modus yang digunakan juga meliputi manipulasi kargo yang mestinya ditentukan per volume, tapi ternyata dihitung per ekor lobster.

Maka dari itu sosok menteri KKP baru sangat dibutuhkan guna membersihkan internal kementerian sekaligus memulihkan kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam menjaga dan mengelola kekayaan alamnya.

Tidak hanya sekadar pejabat definitif, menteri yang baru mendesak diperlukan guna membenahi sejumlah kebijakan yang telah membuka celah mengobral laut Indonesia ke segelintir pihak.

Besarnya tanggung jawab dan strategisnya Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat jabatan menteri KKP tak bisa hanya dipangku oleh pejabat yang menyambi. Rangkap jabatan yang sementara ini dijalankan oleh menteri Luhut tak boleh berlangsung terlalu lama.

Kementerian yang mengurusi kekayaan alam seperti KKP jelas membutuhkan pemimpin yang visioner, berani, tegas, dan berintegritas tinggi. Menteri terdahulu Susi Pudjiastuti pernah memperlihatkan kualitas semacam itu. Ia pula yang diharapkan oleh masyarakat saat ini untuk kembali duduk di kursi menteri KKP.

Namun, mengembalikan Susi bukan hal yang mudah. Sebab Presiden harus lebih dulu menekan rasa malu dan gengsinya. (Baca: Presiden Jokowi Takkkan Memilih Susi Lagi karena Malu dan Gengsi).

Selain itu ada hambatan dari orang-orang di sekitar Presiden serta partai-partai politik pendukung pemerintah yang sejak lama tidak terlalu menyukai aksi Susi.

Memilih menteri memang hak prerogratif presiden. Akan tetapi terlalu naif jika menganggap presiden bebas dari tekanan-tekanan.

Meskipun Presiden Jokowi pernah mengatakan "tanpa beban", kenyataannya dalam beberapa keputusan penting Presiden melakukan kompromi-kompromi politik. Pemilihan Edhy Prabowo sebagai menteri KKP merupakan salah satu contoh paling nyata kompromi yang memperlihatkan adanya beban pada diri presiden untuk mengakomodasi kepentingan politik.

Begitu pula sekarang saat Presiden dihadapkan pada keharusan untuk memilih menteri KKP yang baru. Selagi posisi menteri secara ad interim dipegang oleh Luhut, tekanan-tekanan menghampiri Presiden selama beberapa hari ke depan.

Sebab partai-partai politik pendukung pemerintah mendapatkan angin untuk menambah jatah menteri. Sementara partai-partai di luar pemerintahan mengintip peluang untuk merapat dan menawarkan diri menjadi "teman" yang baik.

Melihat kecenderungan bagaimana Presiden Jokowi mengambil keputusan akhir-akhir ini, ditambah kebutuhan untuk menjaga dukungan yang solid bagi pemerintah guna mengatasi masalah pandemi dan sederet kesulitan lain, wajar jika Presiden Jokowi menempuh jalur kompromi dan deal politik dalam menentukan menteri KKP yang baru.

Seorang kader Gerindra bisa kembali menduduki posisi itu dengan pertimbangan untuk menjaga ikatan antara Presiden dengan Prabowo Subianto. Lagipula Prabowo dan Gerindra masih memiliki nilai tawar untuk tetap meminta jatah menteri.

Itu sebabnya bisa dimengerti jika muncul opini yang menempatkan Sandiaga Uno dan sosok kontroversial Fadli Zon sebagai calon pengganti Edhy. Meskipun sosok seperti Fadli Zon jauh dari ideal untuk menjabat sebagai menteri KKP.

Di sisi lain kita patut meyakini bahwa dalam benak Presiden Jokowi sebenarnya telah ada beberapa atau bahkan satu nama yang dianggap paling tepat untuk memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sosok itu sangat dipercaya oleh Presiden Jokowi dan telah jelas diketahui olehnya mampu melawan tangan-tangan mafia. Orang yang bukan hanya anti korupsi, tapi juga memiliki keberanian untuk memberantas korupsi dari dalam.

Tidak sulit menebak bahwa nama Ahok terlintas dalam benak presiden saat menerima kabar seorang menterinya tertangkap oleh KPK. Presiden paham siapa yang pantas menggantikan menteri tersebut.

Bagi Jokowi sosok Ahok lebih dari bisa dipercaya untuk mengemban tanggung jawab membereskan masalah di kementerian, tapi juga memberikan ketenangan bahwa visi pembangunan sektor kelautan dan perikanan akan terjaga serta berjalan sebagai mana mestinya.

Ahok pun bisa menjadi jalan tengah "kompromi" antara Presiden dengan Prabowo Subianto sebab antara Ahok dan Prabowo memiliki kedekatan yang mangatasi masa lalu Ahok dengan Gerindra.

Lebih dari itu, memindahkan Ahok dari kantornya saat ini di Pertamina ke Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menjadi salah satu cara bagi Presiden Jokowi untuk membuktikan komitmennya perihal "tanpa beban" dalam melakukan yang terbaik demi negara dan rakyat. Serta jadi pembuktian sejauh mana Presiden Jokowi dan pemerintah menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai prioritas pembangunan.

Ada nama Ahok di pikiran Presiden Jokowi saat ini. Walau disadari bahwa membawa Ahok tidak sesederhana memindahkan kantor.

Peraturan undang-undang menjadi menghambat Ahok tang pernah dipidana dan dipenjara 2 tahun. Kecuali jika pengujian di Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan aturan dan pasal terkait.

Belum lagi jika benar-benar Ahok berpindah kantor ke Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa jadi akan muncul demonstrasi berjilid-jilid dari sejumlah kelompok.

Masih biasa jika hanya demonstrasi. Bagaimana kalau seandainya Ahok jadi Menteri Kelautan dan Perikanan tiba-tiba muncul seruan untuk memboikot ikan dan produk laut? Bagaimana kalau ada fatwa bahwa makan ikan itu haram? Stop makan ikan! Sebab menterinya Ahok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun