Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi Takkan Memilih Susi Lagi karena Malu dan Gengsi?

26 November 2020   08:25 Diperbarui: 26 November 2020   08:30 4081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susi Pudjiastuti (dok. pri).

Gurat kekecewaan yang dalam diperlihatkan oleh Presiden Joko Widodo saat memberi keterangan di depan wartawan pada Rabu (25/11/2020). Raut wajahnya muram dan alis matanya turun. Nada bicaranya datar dan hanya kata-kata pendek yang disampaikan olehnya.

Setelah itu Presiden berbalik badan. Berjalan pelan memunggungi kamera. Kepalanya tertunduk.

Presiden memang pantas kecewa. Sebab salah satu menteri terkuat dalam kabinetnya, Edhy Prabowo, digelandang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebab menteri yang dipilihnya sebagai bagian dari deal politik dengan bekas lawan politiknya ternyata mengkhianati amanah. Terlebih lagi tindakan tercela sang menteri dilakukan saat masa-masa sulit pandemi di mana para menteri sedang dituntut bekerja maksimal guna mendorong kinerja pemerintah dalam mengatasi wabah dan resesi.

Namun, bukan hanya kecewa sebenarnya yang coba ditahan oleh Presiden. Ia pun memendam dan menahan rasa malu. Sebab sang menteri diringkus seusai menjalankan tugas negara melawat ke Amerika Serikat.

Presiden Jokowi juga pantas malu sebab berbagai kritik dan peringatan yang disampaikan sejumlah pihak tentang keputusannya memilih menteri Edhy akhirnya terbukti.

Pada awal terpilihnya Edgy, tanda tanya segera tertuju pada Presiden yang menyerahkan urusan vital pengelolaan sumber daya alam kepada seorang politisi dari gerbong lawan politiknya. 

Saat itu komitmen dan janji Presiden untuk menjaga sektor kelautan dan perikanan dipertanyakan. Apalagi "sektor basah" ini dinilai sebagai salah satu pilar pembangunan maritim yang digembor-gemborkan oleh Jokowi saat pertama kali terpilih sebagai presiden pada 2014.

Banyak pihak mencemaskan pondasi-pondasi positif yang telah dibangun oleh Susi Pudjiastuti akan melemah di tangan Menteri Edhy. 

Menyerahkan urusan laut dan kekayaan alam di dalamnya kepada yang bukan ahli, apalagi seorang menteri yang dibawa masuk ke istana melalui jalur kompromi politik akan menjerumuskan masa depan pembangunan kelautan dan perikanan. Langkah maju yang sebelumnya tampak menjanjikan akan kembali bergerak mundur.

Satu demi satu kekhawatiran jadi kenyataan. Segera setelah menjabat, Edhy memperlihatkan arah kebijakan yang serba kebalikan dari pendahulunya. Ia menyatakan tak akan memprioritaskan penenggelaman kapal ilegal fishing.

Dengan dalih penenggelaman kapal menghabiskan banyak biaya dan kapal-kapal itu bisa dihibahkan kepada nelayan, Edhy mencoba menghapus jargon "tenggelamkan" yang merupakan salah satu kebijakan utama pendahulunya.

Dampak dari keputusan Edhy langsung terlihat. Kapal-kapal asing ilegal kembali ramai memasuki laut Indonesia. Bahkan, kapal-kapal itu berani melakukan pengusiran dan intimidasi kepada para nelayan lokal.

Pelonggaran demi pelonggaran terus dilakukan oleh Edhy. Di antaranya mencabut surat edaran menteri sebelumnya yang membatasi ukuran kapal serta izin terkait penangkapan dan pengangkutan ikan. Padahal surat edaran tersebut berguna untuk melindungi kekayaan laut serta menjamin keberpihakan pada nelayan kecil.

Edhy juga mengizinkan kembali operasional cantrang yang sebelumnya dilarang. Di bawah kendalinya, cantrang diperbolehkan lagi sebagai alat tangkap eksploitatif.

Tak berhenti sampai di situ. Edhy lagi-lagi menelurkan kebijakan yang melawan prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, yakni membuka keran ekspor benih lobster.

Saat negara-negara lain menjaga benih lobster sebagai kekayaan yang tak ternilai, Edhy justru beralasan Indonesia perlu menjual benih lobsternya agar nelayan bisa mendapatkan banyak uang dan tak kelaparan.

Ironisnya, Presiden Jokowi selama ini membiarkan sepak terjang dan kebijakan-kebijakan Edhy tersebut. Presiden Jokowi seolah menutup mata saat sejumlah pihak mengirimkan sinyal peringatan "laut Indonesia sedang diobral" sebagai dampak pelonggaran yang dilakukan oleh Edhy.

Bahkan, pada sejumlah kebijakan, seperti ekspor benih lobster, Presiden justru terkesan merestui dan memberi lampu hijau untuk kebijakan tersebut.

Orientasi Presiden Jokowi dianggap telah berubah drastis dan kontradiktif. Pengangkatan Edhy sebagai menteri dan pengabaian terhadap sinyal-sinyal peringatan memperlihatkan bahwa Jokowi cenderung tidak lagi melihat sektor kelautan dan perikanan sebagai prioritas yang perlu diurus maksimal. Lebih khusus lagi, Presiden Jokowi sepertinya memang mulai lupa pada mimpinya tentang kejayaan sektor kelautan Indonesia.

Nasi telah menjadi bubur. Kini Presiden Jokowi dengan kedua mata dan telinganya mendapati pembantu pilihannya menjadi yang terdepan sebagai pesakitan KPK. Urusan lobster menjadikan Edhy sebagai pesakitan kasus suap.

Presiden pun telah mendapati kenyataan bahwa keyakinannya rupanya salah. Presiden Jokowi bukan hanya menyadari bahwa keputusannya memilih Edhy merupakan kesalahan besar buah dari kompromi politik, tapi juga telah mendatangkan risiko kerugian tak ternilai atas ancaman kekayaan laut Indonesia.

Sekarang dalam rasa kecewa dan malu yang dipendam olehnya, Presiden Jokowi dituntut lebih cermat dan tegas. Perlu bagi Presiden untuk memperbaiki kembali komitmen dan haluannya dalam memandang sektor kelautan dan perikanan. Termasuk sejauh mana pemerintah masih menganggap sektor tersebut sebagai pilar pembangunan berkelanjutan.

Presiden pasti mengetahui suara sebagian masyarakat yang mengharapkan sosok Susi Pudjiastuti kembali. Satu sisi dalam dirinya paham ada alasan obyektif untuk membawa Susi kembali. Pada satu sisi itu Presiden bisa melakukannya "tanpa beban".

Tapi ada sisi lain dari Presiden Jokowi yang lebih menonjol pada periode kedua kepemimpinannya. Dengan sisi itulah Jokowi sedang memimpin sekarang. Dan sisi itu kecil kemungkinan bisa membawa Susi kembali.

Lagipula, Presiden Jokowi sudah punya seorang "super menteri" yang mahir dalam segala urusan. Presiden sangat percaya dan bergantung pada "super menteri". Sementara "super menteri" tak suka dengan Susi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun