Namun, soal kepercayaan ada yang lebih menentukan, yakni integritas. Dalam bisnis kuliner integritas bisa diukur dari sejauh mana etika bisnis diterapkan.
Memang etika merupakan sesuatu yang abstrak. Hanya pada beberapa aspek luar yang umum saja etika bisa kita nilai, yakni kejujuran dan profesionalisme. Oleh karena itu, etika  yang paling mudah kita nilai dari drama ayam geprek ini ialah terkait kejujuran dan profesionalismenya.
Bisnis kuliner juga bisa ambruk jika dijalankan dengan penuh akal tipu. Memang kejujuran saja tidak menjamin 100% suatu bisnis kuliner bisa meraih kepercayaan. Kadang kejujuran justru membuat konsumen atau pelanggan berpindah kepada yang lain. Namun, begitulah risiko dibutuhkan untuk membangun kepercayaan. Harapannya kelebihan serta kekurangan yang ada bisa diterima secara utuh oleh konsumen.
Dalam adu ayam geprek ini, putusan Mahkamah Agung tentu berpengaruh positif kepada merek ayam geprek milik tergugat. Kebenaran yang terungkap meningkatkan persepsi positif kepada merek tersebut. Tapi sejauh mana itu akan berdampak signifikan kepada kemajuan bisnis dan kepuasan konsumen belum bisa dipastikan. Peminatnya mungkin akan bertambah. Sebagian konsumen akan beralih, tapi belum tentu signifikan.
Sebaliknya, fakta dalam kasus ayam geprek ini telah berpengaruh negatif kepada penggugat yang akhirnya kalah. Meski konsumen setianya mungkin masih puas dan tidak langsung berganti pilihan, tapi yang memperburuk keadaan ialah konsumen merasa bahwa di sini kejujuran dan profesionalisme telah dimanipulasi.