Ada yang berubah dari kompleks kami tinggal pada dua hari terakhir. Portal yang selama ini memagari gang sudah mulai dibuka. Sebenarnya tidak dibuka sepenuhnya. Hanya bagian ujungnya tidak diikatkan lagi pada tiang besi sehingga orang bisa melaluinya secara lebih leluasa. Pengguna kendaraan pun bisa melalui portal dengan cara mendorong atau menarik portal yang tidak terkunci tersebut.
Saya tidak tahu apakah pelonggaran ini merupakan kabar baik atau sebaliknya. Semoga "relaksasi" portal ini mencerminkan sikap warga yang kebablasan dan latah memaknainya sebagai persiapan "the new normal". Sulit membayangkan kehidupan normal baru sementara kasus positif Covid-19 terus bertambah dan bahkan Pemda DIY mulai mewacanakan PSBB.
Meski demikian, pelonggaran portal ada untungnya juga bagi warga yang harus keluar pagi buta untuk memenuhi kebutuhan sahur. Saya tak lagi harus berjalan merunduk melewati rintangan portal itu.
Meninggalkan gang saya kemudian berjalan menyusuri jalanan yang senyap. Â Temaram lampu dari beberapa rumah dan bangunan menghadirkan suasana yang ganjil. Udara terasa jadi lebih lembab. Tempat ini seolah terlelap nyenyak di bawah selimut pandemi.
Begitu sunyi sehingga saya hanya menikmati suara dari arah diri sendiri. Bunyi tapak sandal di atas aspal dan trotoar, suara tarikan nafas yang agak cepat karena terhalang masker. Hanya satu dua mobil dan sejumlah sepeda motor melaju cepat. Suaranya nyaring karena tak bersaing dengan banyak sumber suara lainnya.
Lampu-lampu dari sejumlah baliho dan bagian depan toko menyala terang. Lumayan memberi warna di tengah bekunya malam. Sebuah apotek yang memang buka 24 jam terlihat sebagai titik paling terang di sepanjang ruas jalan. Lampu-lampunya menyala hampir seluruhnya sehingga bagian dalam apotek terlihat jelas dari luar.
Di depan restoran banyak sepeda motor terparkir. Sejumlah pengemudi ojek daring duduk menyebar. Ada yang lesehan di trotoar. Mungkin mereka sedang menunggu order makan sahur. Ada yang nongkrong di beranda sebuah toko dan ada yang bergabung di sebuah angkringan di samping restoran.
Kawasan sekitar restoran cepat saji ini boleh dikatakan menjadi salah satu titik paling hidup di tengah kesunyian dan keganjilan suasana dini hari zona merah Sleman. Paling tidak dalam radius 50 meter dari restoran ada empat penjual makanan yang tetap buka untuk melayani makan sahur.
Salah satunya ialah penjual nasi kuning yang mengambil tempat di bagian depan sebuah swalayan. Lokasinya nyaris berseberangan dengan restoran cepat saji.
Penjualnya seorang ibu yang pada hari biasa berjualan nasi kuning di tempat tersebut mulai pukul 05.00-07.00. Namun, selama puasa Ramadan ia menggeser waktu berjualan ke dini hari.
Sejak pukul 02.00 para pejuang sahur sudah menghampirinya. Saya termasuk salah satu yang sering singgah. Pilihan lauknya memang tidak selengkap seperti saat ia berjualan di hari-hari biasa. Namun, nasi kuningnya tidak banyak berubah. Masih tetap pulen dan nikmat rasanya walau hanya disantap dengan telur, perkedel, dan sayur kacang panjang. Sayangnya beberapa pembeli sering saya jumpai tidak mengenakan masker.
Pada hari biasa warung Mbak Ari buka mulai pukul 05.30. Namun, selama Ramadan jam bukanya bergeser ke pukul 12.00 sampai 18.00. Setelah itu warung Mbak Ari buka kembali pukul 01.30 untuk melayani para pejuang sahur.
Saat sahur menu pecel tidak disediakan. Meski demikian beberapa sayur rumahan tetap disajikan. Tak ketinggalan disertakan lauk seperti telur, ayam, ikan, teri, tahu, dan tempe.
Warung Mbak Ari biasanya ramai didatangi pembeli pada pukul 03.00. Tidak semua membeli untuk dibungkus. Sebagian pembeli memilih bersantap sahur langsung di warung. Untuk menambah tempat makan, beberapa tikar disiapkan di area parkir swalayan di depan warung.
Pernah suatu hari saya datang pukul 03.00 lewat beberapa menit. Ternyata pembelinya sudah banyak. Beberapa orang harus antre untuk dilayani. Untungnya antrean lumayan tertib.
Bagi saya warung Mbak Ari serta penjual lainnya tak ubahnya pahlawan di tengah pandemi. Keberadaan mereka yang tetap buka dan melayani makan sahur di satu sisi memiliki kepentingan ke dalam, yakni menjaga usaha mereka agar tidak semakin terpuruk akibat pandemi.
Namun, di sisi lain mereka adalah penyelamat bagi para pejuang sahur di zona merah Covid-19. Apalagi banyak mahasiswa yang tak bisa pulang kampung.Â
Banyak pula para pekerja proyek pembangunan gedung-gedung yang harus tetap tinggal untuk melanjutkan pekerjaan. Tanpa warung Mbak Ari, penjual angkringan, dan ibu penjaja nasi kuning, puasa di tengah pandemi mungkin akan semakin terasa nestapanya.
***
Baca juga: Hidup dalam Selingkung Covid-19 di Zona Merah Yogyakarta