Yogyakarta yang Lengang, tapi Mbah Wiyoto Tak Bisa #Dirumahaja

Mulut gang yang langsung menuju kampus UGM terlihat sepi (dok. pri).

Pandemi Covid-19, social distancing dan work from home (WFH) telah membuat Yogyakarta semakin hari semakin lengang. Ini mungkin akan terus berlanjut sampai kita bisa memenangi perang melawan Covid-19.

Memang jika waktu beranjak siang atau sore keramaian tetap dijumpai. Sejumlah toko, warung, supermarket, apotek, tempat fotocopy, usaha laundry, dan beberapa kantor tetap buka. Akan tetapi gambaran yang terlihat tidak lagi sepenuhnya sama dengan apa yang biasanya tampak di kala normal.

Saya terus berjalan kaki bersama keringat yang membuat tubuh terasa lebih ringan dan nyaman. Manakala tiba di sebuah gang, langkah saya terhenti. Ada warung yang buka pagi itu. Di sana seorang nenek duduk seorang diri menunggui deretan meja yang dari agak jauh sudah terlihat bahwa tidak terlalu banyak yang dijualnya pagi itu.

Saya mampir sebentar. Bertanya dalam bahasa Jawa apakah ia menjual gula jawa. Ternyata ada. Saya memesan seperempat kilogram. Ia pun segera menyiapkannya. Saat itu saya baru tahu bahwa sang nenek mengalami kesulitan berjalan. 

Untuk menjangkau timbangan yang jaraknya hanya sekitar 2 meter darinya, susah payah ia menggeser tubuhnya yang sudah melambat. Sempat saya bertanya, ternyata kakinya sudah lama sakit. 

Empon-empon yang dijual Mbah Wiyoto (dok. pri).

Saya menawarkan untuk menimbang sendiri. Namun, tak berhasil. Seperempat kilo gula jawa ditimbangnya dan dimasukkan ke kantung plastik bening. Harganya cuma Rp4500. Selain gula jawa saya juga mengambil dua buah jeruk nipis. Sang nenek hanya menjualnya seharga Rp1500. 

Mbah Tri Wiyoto, begitulah nama sang nenek. Di usianya yang kepala tujuh, ia tetap berjualan di tengah pandemi Covid-19. Sekalipun lingkungan sekitarnya telah menjadi lebih sepi, pagi itu saat jarum jam masih terpaku di angka 7, ia sudah di tempatnya seperti biasa.

Entahlah, melihat mbah Wiyoto saya seketika lebih tenang dan semakin mampu untuk bersikap positif serta optimis dalam melawan pandemi ini. Mbah Wiyoto mungkin sudah tahu bahwa hari-hari ini adalah hari yang tidak normal. Ia juga mungkin tahu dari berita-berita atau percakapan orang-orang di rumahnya tentang adanya wabah Corona.

Namun, bagaimanapun hidup tetap harus digulirkan. Mbah Wiyoto tak bisa #Dirumahaja. Dalam hal seperti inilah teriakan lockdown akan terdengar bagai ujaran yang menertawakan hidupnya.

Singkat saja pertemuan saya dengan Mbah Wiyoto. Sebelum berpisah saya sempat bertanya harga jahe yang dijualnya. Di atas salah satu meja tempatnya berjualan memang ada beberapa wadah berisi empon-empon. 

Dibanding sekilo jahe di supermarket langganan saya yang sekarang harganya Rp96.000, jahe di tempat Mbah Wiyoto masih jauh lebih murah. Lagi-lagi saya seperti mendengar seruan lockdown yang menertawakan dengan keras Mbah Wiyoto.