Changzhou Olympic Sports Center Gymnasium memang kandang China. Namun, arena turnamen badminton China Open 2019 itu harus mengakui kuasa Indonesia di sektor ganda putra. Tiga pasangan Indonesia di semifinal membuat satu ganda China menjadi kurang berarti.Â
All Indonesian Final pun menjadi laga puncak pada Minggu, 22 September 2019. Ini merupakan duel sesama Indonesia yang kesekian kalinya pada turnamen level elit sepanjang 2019.
Indonesia juga secara resmi menyapu bersih gelar juara ganda putra dari tiga turnamen Super 1000 yang ada: All England, Indonesia Open, dan China Open.
Sebuah catatan menarik bahwa dari semua final tersebut selalu ada nama Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan. Di final China Open 2019 Ahsan/Hendra bertemu dengan suksesor mereka sendiri, Marcus/Kevin. Ini merupakan bentrok keempat The Daddies versus The Minions pada 2019 yang juga berarti memaksa ganda putra dunia lainnya untuk hanya menjadi penonton bagi pertarungan juara-juara asal Indonesia.
Memang kali ini Ahsan/Hendra kembali ditaklukan Marcus/Kevin lewat menarik tiga game 21-18, 17-21, dan 21-15. Meski demikian, pencapaian demi pencapaian Ahsan/Hendra sepanjang 2019, termasuk di Changzou telah mengukuhkan mereka sekali lagi sebagai raksasa ganda putra dunia.
Old But Gold
Tahun 2019 menjadi masa kebangkitan Ahsan/Hendra usai berpasangan kembali pada 2018. Dua tahun sebelumnya mereka berpisah dan menempuh jalan berbeda.
Semula comeback Ahsan/Hendra sejatinya kurang diperhitungkan sebagai ancaman. Alasannya apalagi kalau bukan usia dan grafik Ahsan/Hendra yang menurun sejak 2015.
Banyak yang menganggap The Daddies tidak akan mampu bicara banyak. Mereka diprediksi akan kesulitan bersaing dan mengikuti tren gaya permainan ganda putra yang saat ini mengandalkan kecepatan.
Belum pula dilupakan bahwa setelah periode pertama mereka pada 2013-2016 yang meski memenangi banyak turnamen, tapi berujung kegagalan menyakitkan di Olimpiade Rio, Ahsan/Hendra oleh banyak kalangan termasuk pecinta badminton Indonesia, dianggap telah habis. Media pun pernah menuliskannya dengan judul dan narasi kelam: Berakhirnya Era Ahsan/Hendra!
Ahsan/Hendra telah menjejak setidaknya 8 final: Indonesia Masters, All England, Singapore Open, New Zealand Open, Indonesia Open, Japan Open, BWF World Championship (Kejuaraan Dunia), dan China Open. Capaian tersebut menyamai prestasi mereka pada 2013 dan ada kemungkinan terlampaui tahun ini.
The Minions boleh saja paling banyak mencapai podium, tapi The Daddies memiliki kehormatan tersendiri yang istimewa. Pada 2019 Ahsan/Hendra menggenggam gelar juara dari dua turnamen paling prestisius di dunia, yakni All England dan Kejuaraan Dunia.Â
Bersama pencapaian tersebut beberapa rekor, di antaranya 15 kali bertanding tanpa terkalahkan di Kejuaraan Dunia dengan tiga kali menjadi juara dunia. Hendra Setiawan juga mencatatkan namanya sebagai juara dunia tertua (35 tahun) serta menyamai rekor Liliyana Natsir sebagai peraih juara dunia dalam rentang waktu terpanjang.
Pencapaian Ahsan/Hendra serta catatan-catatan istimewa yang mereka ukir pada 2019 dengan sendirinya memaksa kita semua untuk membuka kamus klasik dan mencari kebenaran kebenaran ungkapan Old But Gold.Â
Menua, tapi berkilau bagai emas. Tak ada pebulutangkis manapun saat ini yang paling tepat untuk ditempatkan dalam penggambaran tersebut kecuali Ahsan dan Hendra. Benar bahwa mereka tidak muda lagi dan usia emas telah lewat dari mereka. Tidak salah memandang bahwa mereka tak cukup gesit, apalagi jika disandingkan dengan mode permainan cepat Marcus/Kevin.
Namun, jelas keliru menjadikan itu sebagai dasar perkiraan bahwa comeback Ahsan/Hendra akan lebih banyak diwarnai kekalahan. Ahsan/Hendra yang berasal dari dua generasi berbeda memiliki kualitas di atas rata-rata yang tak sepenuhnya memudar seiring usia.
Soal mental, mereka telah teruji sepenuhnya dalam naik turun dan jatuh bangun ratusan pertandingan penuh tekanan di mana mereka merasakan baik menang maupun kalah.
Kini hampir bisa dipastikan semua pemain dan pelatih ganda putra manapun sedang memikirkan secara serius kebangkitkan Ahsan/Hendra, terutama sejak mereka meraih gelar All England, Juara Dunia, dan final-final penting lainnya dengan permainan yang sangat baik.
Santai Tapi Mematikan
Capaian hebat Ahsan/Hendra sepanjang 2019 ditopang oleh permainan mereka yang unik. Mereka seolah menampilkan kontra-strategi dari gaya permainan kebanyakan ganda putra saat ini.
Bukan berarti mereka tidak bermain agresif. Namun, Ahsan/Hendra mematikan lawannya dengan cara dan gaya yang berbeda. Kita bisa membuka youtube untuk melihat lagi permainan mereka setidaknya pada semifinal All England 2019, semifinal Japan Open 2019, semifinal dan final Kejuaraan Dunia 2019, serta China Open 2019 mulai dari perempat final hingga final.Â
Tidak semua pertandingan di atas dilalui dengan mulus. Ada saat di mana Ahsan/Hendra mendominasi dan menang, tapi tidak jarang pula terpaksa bermain tiga game, bahkan kalah.
Perlu dicatat pula bahwa pada All England 2019 dan China Open 2019 Ahsan/Hendra dalam kondisi tidak ideal di mana salah satu di antara mereka bergantian mengalami cedera.
Pada pertandingan-pertandingan tersebut terlihat sejumlah kualitas yang secara konsisten ditampilkan Ahsan/Hendra mengikuti gaya permainan sebagai berikut:
Pertama, mereka seperti bermain lebih lambat, tapi secara aneh sering menuntaskan game dengan cepat. Untuk mendapat poin seringkali tidak banyak pukulan keras yang meluncur dari keduanya. Mereka juga seperti jarang berlari mengejar shutlecock, tapi pada saat yang sama membuat lawan berlarian ke sana kemari meladeninya.
Kualitas tersebut belum hilang dan bahkan semakin sempurna saat ini. Lihatlah partai final China Open 2019 yang baru saja berakhir. Marcus/Kevin berulang kali dibuat pontang-panting mengantisipasi placing Ahsan/Hendra.
Akurasi dan penempatan menjadi andalan utama Ahsan/Hendra bukan hanya saat menyerang, tapi juga saat bertahan. Mereka mampu dengan baik membalikkan kondisi tertekan menjadi berbalik menyerang lewat penempatan dan pengembalian yang menyulitkan lawan.
Keempat, Ahsan/Hendra yang sekarang tidak hanya kompak dan saling melengkapi, tapi saling menggantikan dengan kualitas sama baiknya. Bertahun-tahun Ahsan dikenal sebagai pemain belakang pemilik smash yang sangat keras. Namun, kini ia juga cekatan di depan net. Kualitas ini ditunjukkannya dengan sangat baik pada All England 2019 saat harus meng-cover Hendra Setiawan yang cedera.
Sebaliknya, Hendra Setiawan yang merupakan pemain depan tak tergantikan, ternyata mampu mengambil peran sebagai pemain belakang untuk meluncurkan smash-smash yang mematikan. Lihat saja bagaimana ia menutup area permainan belakang saat Ahsan cedera pada China Open 2019.Â
Banyak sekali Hendra meluncurkan smash yang menghasilkan poin. Barangkali benar kata Ahsan saat diwawancari sebuah media beberapa saat lalu. Ia mengatakan bahwa smash Hendra lebih keras darinya.
Kemampuan bersubtitusi membuat Ahsan/Hendra lebih solid sekaligus mampu dengan cepat beradaptasi menghadapi setiap lawan. Fleksibilitas posisi keduanya berulang kali sukses membuat lawan-lawan mereka kebingungan menentukan permainan. Inilah yang terjadi pada semifinal All England 2019 dan semifinal China Open 2019 saat Ahsan/Hendra membuat Kamura/Sonoda dan Li Junhui/Liu Yuchen bermain kacau tanpa pola.
Kombinasi dari semua kualitas di atas mewujud dalam permainan Ahsan/Hendra yang tenang tapi mematikan. Begitu tenangnya sehingga tekanan selama pertandingan seolah tak mudah merusak mereka.Â
Gaya bermain Ahsan/Hendra yang kini lebih efektif membuat mereka terlihat santai alias "santuy" baik saat menyerang maupun bertahan. Banyak pecinta badminton menyebut mereka "bermain tanpa keringat" dan "cukup berjalan kaki untuk membunuh lawan yang berlari-lari".
Tidak ada keraguan bahwa efektivitas permainan yang diusung Ahsan/Hendra sekarang dikembangkan pertama-tama sebagai bentuk adaptasi dan kompromi terhadap usia dan kondisi fisik mereka sendiri.Â
Akan tetapi pada perkembangannya gaya "santuy" itu ternyata juga berdaya sebagai kontra-strategi. Ahsan/Hendra menemukan bahwa gaya bermain mereka ternyata sering ampuh untuk meredam gaya bermain "pukul dan lari" yang banyak diperagakan banyak ganda putra saat ini.
Tiga tahun terakhir para pelatih dan pemain ganda putra dunia sangat terobsesi menjinakkan permainan cepat Marcus/Kevin yang "ugal-ugalan".
Usaha itu sebenarnya mulai memperlihatkan hasil dalam setahun belakangan ketika beberapa pasangan baru dari Jepang, Korea, dan China bisa mengalahkan Marcus/Kevin.Â
Akan tetapi belum beres pekerjaan mengatasi The Minions, kini para ganda putra dunia beserta para pelatihnya sudah dihadapkan pada masalah dan kerumitan baru. Kerumitan memahami dan membongkar permainan "santuy" The Daddies.