Seolah agama C adalah penghalang dalam menegakkan agama D. Istilah "menegakkan agama" pun sering dibelokkan maknanya sebagai perlawanan terhadap agama lain. Di sinilah berlangsung produksi sentimen keagamaan.Â
Lalu seperti sering kita jumpai, termasuk di media sosial, banyak orang memilih untuk mengikuti pandangan penuh sentimen tersebut.Â
Sangat disayangkan jika ada sejumlah ustaz atau ulama yang memproduksi murid, pengikut, dan penggemar yang emosional, berpandangan sempit, dan memiliki benih intoleran.Â
Ulama semestinya bertindak untuk memerangi sifat-sifat buruk semacam itu. Mereka yang bergelar ustaz selayaknya bertanggung jawab meluruskan pandangan-pandangan keagamaan yang keliru.Â
Tokoh agama perlu mengambil peran sebagai pembawa pesan spiritualitas agama yang mengajarkan penghargaan terhadap sesama manusia. Bukan justru menjadi pelaku pembangkit sentimen, kebencian, dan fanatisme sempit.
Kebenaran Eksklusif
Jika diselidiki, kecenderungan orang membangkitkan sentimen agama berangkat dari obsesi yang berlebihan tentang klaim kebenaran ajaran agama.Â
Tentu ini bukan satu-satunya latar belakang. Hanya saja dari sejumlah fenomena ujaran kebencian dan intoleransi yang menguat di sekitar kita akhir-akhir ini, adanya pandangan tentang kebenaran agama secara ekslusif tampak sekali.
Memang agama menuntut keyakinan tanpa keraguan dari penganutnya. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa bukan hanya agama yang kita anut yang menuntut hal itu.Â
Komitmen yang sama juga tertanam pada agama-agama lain. Semua penganut agama apa pun meyakini kebenaran ajaran agamanya masing-masing. Setiap pemeluk agama mempercayai bahwa agamanya yang paling baik.
Akan tetapi itu bukan ditujukan untuk menentukan klaim ajaran mana yang paling benar dan menghakimi agama mana yang tidak benar. Melainkan untuk memperkaya pemahaman soal agama.