Kemajuan di Udara, Kekhawatiran di Tanah: Ketika Tiket Murah Membawa Risiko Bagi Identitas Papua Pegunungan
Langit di atas Papua Pegunungan mulai ramai. Sriwijaya Air terbang langsung, , membuka jalan pulang dan harapan. Majelis Rakyat Papua Pegunungan menyambut ini sebagai kemajuan---koneksi yang selama ini mahal kini bisa terjangkau. Tapi seperti semua yang terlihat manis, ada rasa pahit yang mengendap di baliknya.
Wakil Ketua II MRP, Benny Mawel, tahu persis bahwa kemudahan akses ini bukan sekadar soal mobilitas. Ini soal siapa yang masuk, siapa yang tinggal, dan siapa yang perlahan tersingkir. Ia menyuarakan perlunya pengendalian penduduk, agar kehadiran pendatang tidak berubah menjadi penyerapan hak milik budaya.
Karena bagi kami, orang-orang dari lembah yang tenang, identitas bukan slogan. Ia adalah cara kami memahami gunung, sungai, dan sesama.
Negara pernah membangun jalan, tanpa tahu bahwa tiap batu di sana punya nama. Negara pernah membangun kantor, tanpa bertanya siapa yang punya tanah itu. Kini, pesawat datang membawa peluang. Tapi peluang tanpa pengaturan bisa berubah menjadi perebutan.
"Kalau tidak diatur, yang datang bukan saudara, tapi penyerobot."
Catatan reflektif Majelis Rakyat Papua Pegunungan
Dalam pasal 61 UU Otonomi Khusus Papua Tahun 2001, negara diberi ruang untuk mengatur arus penduduk demi melindungi OAP---Orang Asli Papua. Tapi pasal itu tak bekerja sendiri. Ia butuh nyawa: Perdasus, Perdasi, dan keberanian politik untuk menjadikannya perlindungan yang nyata.
Karena kemajuan logistik tanpa proteksi sosial bisa menjadi proyek penghilangan yang sah.
Statistik tumbuh, demografi berganti, dan adat perlahan digeser ke pinggir.