Indikasi Distorsi dalam Masyarakat:
Generasi Muda yang Terputus dari Tanah
Banyak anak muda di Jayawijaya lebih bangga menjadi pegawai kontrak atau buruh proyek daripada mengelola kebun atau membuat noken. Padahal, Kampung Siep Kosi telah membuktikan bahwa buah naga bisa menjadi komoditas unggulan yang mengangkat ekonomi lokal[2].
Seorang wanita mengenakan pakaian berwarna-warni menampilkan kerajinan noken termasuk tas dan anyaman yang dipamerkan di depan mereka.
-
Normalisasi Ketergantungan
Bantuan sosial dan proyek instan menciptakan budaya menunggu. Inisiatif lokal melemah karena masyarakat terbiasa menerima, bukan mencipta. Krisis Harga Diri Profesi Lokal
Petani dan pengrajin noken mulai merasa malu dengan pekerjaannya. Padahal, Pemkab Jayawijaya sendiri mendorong ekonomi kreatif berbasis noken di 328 kampung[3].
Indikasi Distorsi dalam Pemerintahan:
Pembangunan Berbasis Simbol, Bukan Substansi
Fokus pada pembangunan fisik seperti KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan) sering kali tidak dibarengi dengan penguatan kapasitas masyarakat[4].
Seorang pria di KIPP Jayawijaya sedang berbicara di depan kerumunan.
Minimnya Integrasi Kearifan Lokal dalam Kebijakan
Padahal, Wapres RI sendiri menegaskan bahwa pembangunan Papua Pegunungan harus selaras dengan kearifan lokal untuk menghindari konflik dan memperkuat penerimaan masyarakat[5].Modernisasi yang Keliru
Seperti yang dikatakan oleh Pj Gubernur Velix Wanggai, Papua Pegunungan harus menghindari modernisasi yang keliru---yakni pembangunan yang tidak kontekstual dan tidak berakar[6].
Refleksi: Antara Pasif dan Kritis