Ketika Sekolah Datang, Tanah Mulai Bungkam
Anak yang tidak bisa membaca dianggap bodoh. Tapi ia tahu kapan hujan datang. Ia tahu batu mana yang bisa dipakai, dan semak mana yang menyimpan jejak babi hutan.
--- Perbandingan Nalar Adat dan Formal
Arus pendidikan formal yang mengedepankan hafalan telah menggantikan kemampuan analisis yang tumbuh dari kerja dan pengamatan. Di kampung, nalar anak-anak telah berkembang jauh sebelum mereka mengenal alfabet. Namun, dengan datangnya kurikulum global, cara berpikir yang terbangun dari kedekatan dengan tanah mulai terlupakan. Sistem pendidikan yang menuntut kecepatan dan kepatuhan pada soal pilihan ganda seringkali mengabaikan kekayaan nalar adat.
Kurikulum nasional mungkin membawa silabus, tetapi seringkali lupa membawa "noken" -- metafora untuk cara hidup dan berpikir masyarakat adat. Anak yang terbiasa belajar dari alam kini dianggap tidak relevan karena tidak bisa menjawab soal-soal di kelas. Hal ini menimbulkan keraguan pada orang tua dan kebisuan di kalangan tokoh adat. Sistem pendidikan adat yang berakar pada honai, pagar, dan jalan setapak, tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai.
Tak ada Perdasus. Tak ada Perdasi. Yang ada hanya sunyi dari kebiasaan yang dulu menanam cara berpikir.
--- Ketiadaan Perlindungan Hukum Adat
Di dunia luar, ketaatan dianggap kebajikan. Namun, di lembah Hubula, kepatuhan tanpa pemahaman disebut kepu, sebuah peringatan bahwa tanah membutuhkan anak yang mengerti arah matahari dan kapan waktu yang tepat untuk menanam, bahkan sebelum diajari secara formal.
 Penutup: Yang Tidak Dituliskan Tapi Dihidupkan
Anak Hubula tidak belajar dari suara keras. Ia belajar dari langkah yang tidak dijelaskan. Dan ketika ia bisa memahami tanpa penjelasan, di sanalah logika tumbuh seperti keladi yang tahu kapan harus dibongkar dan kapan harus ditinggal.
--- Intisari Pembelajaran Hubula