--- Filosofi Hidup Hubula
Bahkan dalam aktivitas yang tampak sederhana seperti memintal noken (tas tradisional Papua), para nenek sedang melatih logika: menentukan kekuatan benang, mengidentifikasi simpul yang lemah, dan mengetahui kapan harus berhenti agar jalinan tidak rusak. Ini adalah bentuk pemikiran kritis yang lahir dari pengalaman langsung.
 Informasi dan Insting
Ketika berita datang ke kampung, masyarakat Hubula tidak serta merta menerimanya. Mereka terlebih dahulu "mencium" sumbernya, bertanya: dari mana ini datang? Untuk siapa ini disebarkan? Apa dampaknya terhadap cara pandang anak-anak muda terhadap tanah mereka sendiri?
Tanpa media besar, pertanyaan sederhana menjadi alat analisis kami:
--- Apakah ini fakta atau sekadar keinginan pihak luar?
--- Apakah ini suara asli atau gema dari agenda yang tersembunyi?
Inilah logika Hubula: sebuah logika yang tidak pasif menerima, melainkan aktif bertanya. Logika yang tidak memerlukan buku, namun mampu membaca niat dari cara bicara orang asing. Ia tumbuh dari nyala tungku dan bunyi embun, bukan dari seminar.
Namun kini, logika itu pelan-pelan mengalami pendinginan. Fakta di lapangan menunjukkan tergerusnya gaya ini---terkikis perlahan oleh gelombang teknologi dan cara hidup baru yang datang seperti angin di puncak gunung: masuk tanpa mengetuk, menyapa honai tanpa mengenal isi.
> Ia menghantam dinding honai dengan sinyal kuat, tapi memutus komunikasi lembut antar generasi.
> Ia membawa layar bercahaya, tapi menyembunyikan suara nenek yang selama ini menjadi sekolah berpikir paling jujur.
Nyala tungku komunikasi di honai mulai membeku. Anak-anak lebih sibuk menggulir layar daripada membaca tanda-tanda tanah. Di sini, ketajaman intuisi mulai diganti dengan kecepatan koneksi.
--Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!