Anak yang Tak Bisa Baca Tahu Kapan Hujan Datang:Â
Nalar yang Tidak Ditulis, Tetapi Dihidupkan
Tanah bukan hanya diam. Ia berpikir. Ia menyusun logika di sela akar ubi dan jalan pikiran yang belum dilafalkan.
--- Nalar Alam Hubula
Di tengah hiruk pikuk dunia modern, terdapat kearifan lokal yang mengajarkan cara memahami dunia tanpa perlu bersentuhan dengan huruf atau angka. Inilah esensi dari cara berpikir masyarakat Hubula di Jayawijaya, Papua, sebuah nalar yang tidak tertulis, namun dihidupkan melalui pengalaman, pengamatan, dan intuisi.
Dari Pagar ke Pemikiran
Di Jayawijaya, pendidikan tidak selalu berwujud ruang kelas dengan papan tulis. Bagi anak-anak Hubula, pagar yang dibangun tanpa suara, atau batu yang dipindahkan dengan pemahaman gerak, adalah buku pelajaran mereka. Tumbuh dalam lingkungan yang menghargai pengamatan ketimbang perintah, anak-anak belajar memahami dunia melalui isyarat dan tindakan.
Ketika seorang ayah mengajak anaknya ke kebun, ia tidak memberikan instruksi verbal. Sang ayah hanya berjalan, dan sang anak mengikuti, mengamati setiap gerak-geriknya. Dari sana, sang anak belajar untuk memutuskan sendiri: apakah ia akan membersihkan semak, memperbaiki pagar, atau membawa kayu. Kemampuan anak untuk bertindak tanpa diminta inilah yang dianggap sebagai kecerdasan, menjadikannya anak pintar yang telah membaca dunia tanpa perlu mengenal aksara.
 Pikiran yang Ditanam, Bukan Diajar
Logika dalam masyarakat Hubula tidak bersumber dari kitab filsafat, melainkan dari kehidupan sehari-hari di honai, tempat tinggal tradisional mereka. Intuisi diasah melalui kebiasaan hidup yang mengajarkan cara berpikir melalui tindakan, bukan melalui teori yang diuraikan dengan kata-kata. Berpikir di sini berarti merencanakan langkah sebelum matahari berada di puncak langit, sebuah proses yang terintegrasi dalam aktivitas harian.
Kami diajarkan berpikir dengan diam. Berpikir dengan kerja. Berpikir dengan rasa tidak enak jika hanya duduk tanpa bergerak.