"Dari Kabut Lembah Baliem: Waktunya Papua Pegunungan Mendengarkan Tanahnya Sendiri"
Yang terhormat para pemimpin, pengambil kebijakan, dan instansi terkait,di Jayawijaya.Papua Pegunungan
Perkenankan saya berbagi catatan kecil dari lembah yang tak henti menyusui sejarah, luka, dan harapan. Dari balik kabut yang menutupi honai kami setiap pagi, ada suara yang ingin disampaikan---nota tanpa kemarahan, hanya ajakan untuk mendengar lebih dalam: _Apakah Papua Pegunungan sedang dibangun untuk kami, atau atas nama kami?_
Hari ini, polemik demi polemik kembali menyelimuti tanah kami. Dari kisruh CPNS, kekerasan bersenjata, hingga politik lokal yang berujung pertikaian, semuanya terlihat seolah lahir dari ketidaksanggupan masyarakat kami memahami dunia yang terus melaju. Namun izinkan saya mengatakan dengan tenang: *ini bukan tentang ketidaksiapan kami---ini tentang sistem yang tak pernah kami bangun sendiri.*
Kami diajari sejarah pahlawan dari pulau seberang, tapi tak pernah diajak memahami jalur migrasi leluhur kami. Kami diminta ikut seleksi berbasis sistem nasional, tapi kuota kampung kami tak pernah dibuka jelas. Kami disuruh menjaga stabilitas politik, tapi saat konflik muncul, yang diberi ruang adalah politisi, bukan rakyat yang jadi korban.
Banyak orang bilang, SDM kami masih lemah. Padahal yang lemah bukan pikiran kami--- *yang lemah adalah keberanian sistem untuk percaya pada nilai kami sendiri.* Lihatlah betapa anak-anak kami bisa menjadi guru, bidan, pegiat literasi, bahkan jurnalis. Tapi tanpa ruang, tanpa keberpihakan, mereka hanyalah penonton di tanah sendiri.
---
*Maka dari itu, izinkan saya mengusulkan dengan penuh hormat:*
*1. Wajibkan kurikulum lokal di sekolah kami.* Biarlah anak-anak kami mengenal siapa mama-mama penenun noken di distrik. Biarlah mereka hafal lagu pujian dalam bahasa ibu mereka, sebelum mereka belajar menghafal nama presiden pertama.
*2. Hadirkan Perdasus yang mengakar.* Pelestarian honai, perlindungan tanah adat, dan sanksi bagi elite politik yang menunggangi konflik---semua ini bukan mimpi. Ia adalah hak hukum dalam bingkai Otonomi Khusus.