"Aku Berpikir, Maka Aku Ada" - Descartes
***
Pada zaman now, siapa yang tidak memakai AI (Artificial Intelligence)? Hampir semua manusia di seluruh dunia--asalkan ada listrik dan jaringan internet--semua kalangan, memakai AI. Dari yang remeh seperti mencari suatu alamat menggunakan Google Maps, membuat poster secara instan, sampai membuat bahasa pemrograman untuk suatu aplikasi.
Tapi, ada kelompok orang tertentu yang tidak mau memakai AI. Bukan karena tidak bisa, tapi tidak mau. Ada laptop/HP, ada internet, ada trainer. Tapi karena terlalu banyak hal yang harus dipelajari, sedangkan fisik sudah berumur, mereka pun enggan. Inilah ciri fixed mindset.
Khusus di dunia pendidikan, jika kita tidak memanfaatkan AI, maka kita akan ketinggalan, bahkan kadaluwarsa. Sedangkan murid-murid kita sudah sangat lihai memakai AI hanya dari menonton di media sosial.
Ada lho, guru tertentu (biasanya yang sudah senior), menyalakan LCD proyektor pun tidak bisa. Maka, meski sudah dipasang LCD dan komputer di kelas, produk teknologi itu tidak pernah dimanfaatkan. Papan tulis dan mulut menjadi andalan dalam mengajar. Padahal, murid-murid sekarang lebih banyak belajar dengan gaya visual, bukan hanya audio.
***
Menarik untuk kita menyimak kutipan Descartes di atas. Dia adalah filsuf asal Prancis kelahiran 1596 yang mengajak kita untuk meragukan segala sesuatu hingga menemukan sesuatu yang pasti benar.
Dalam kurun tiga bulan ini aku sudah mengikuti pelatihan tentang pemanfaatan AI sebantak lima kali, baik di internal yayasan maupun kegiatan yang diselenggarakan dinas pendidikan kota. Menarik, tapi juga mengusik.
Menarik, karena pemakaian AI akan memudahkan pekerjaan kita, khususnya dalam menyiapkan materi pembelajaran bagi guru. Mengusik, sebab, kita harus mempelajarinya jika tidak kita akan sangat ketinggalan.
Bayangkan, PR atau tugas yang kita berikan pada murid bisa dijawab dengan hampir sempurna oleh murid. Bukan dibantu orang tua atau guru les, melainkan dengan bantuan AI. Foto soalnya, unggah ke Chat-GPT, Â jawaban pun tersaji. Cepat, lengkap, rapi.
Namun, jika begitu, anak-anak tidak perlu berpikir untuk menjawab soal. Lama-kelamaan, otaknya akan menjadi b*doh, bahkan bisa mengalami brain rot (pembusukan otak)--yang akan diperparah jika anak suka "mengonsumsi" video pendek di medsos.
Dari pelatihan tentang pemanfaatan AI kali ini, berikut hal yang aku pelajari.
1) Jangan Langsung Percaya
AI adalah buatan manusia, jadi juga bisa salah. Sedangkan manusia pun terkenal dengan gelar "tempatnya salah". AI kelihatan pintar karena mengetahui sangat banyak hal melebihi pengetahuan pribadi kita.
Sumber kepintaran AI adalah dari big data. Dari mana sumbernya? Dari media sosial. Foto, video, dan setiap konten yang kita unggah di internet akan terkumpul menjadi big data. AI akan mengakses big data ini, sehingga bisa menjawab semua yang Anda tanyakan.
Tapi, menelan mentah-mentah apa yang disajikan AI akan membuat otak kita menjadi tumpul, tidak kritis, berikutnya kita bisa menjadi lumpuh secara pemikiran. Jangan langsung percaya pada AI. Sebagai ide boleh saja, tapi harus dimodifikasi dan dikroscek kebenarannya.
2) Buku dan Jurnal adalah Referensi Utama
Bagi makhluk berakal budi, khususnya bagi guru dan pendidik, referensi utama yang dipakai adalah buku dan jurnal. AI bisa dipakai untuk menyingkat pekerjaan teknis seperti mengerjakan tugas administrasi. Namun, isi dan kebenarannya harus dicek dari buku dan jurnal yang terpercaya.
Tapi, ada kelompok guru yang malas berpikir lalu menyalin begitu saja apa yang disajikan AI. Seorang murid les pernah berujar, "Pak, Pak Guru A membuat modul dari Chat-GPT lho!" Bagaimana dia tahu? "Soalnya, ada garis-garisnya juga di Ms. Word-nya." Murid tahu produk dari AI. Jangan sampai kita kalah kritis dari AI ya!
3) Miliki Mental Growth Mindset
AI yang berkembang sekarang--dan akan terus berkembang--dimulai dari proses observasi. Tidak langsung pintar sejak diciptakan. Trainer menjelaskan, mulanya AI dikenalkan pada objek melalui learning machine, lalu dikembangkan dengan deep learning, dan terus dikembangkan sehingga bisa menjadi pintar.
Kecerdasan Artifisial meniru cara berpikir manusia. Jadi, kalau kita tidak memakai otak kita untuk berpikir, maka AI akan sepenuhnya menggantikan pekerjaan kita. Itulah pentingnya memiliki mental growth mindset, pola pikir yang terus bertumbuh.
Mempelajari hal baru, AI dengan segala bentuk, nama, jenis berikut kerumitannya. Ikuti training-training yang diselenggarakan dinas, ikuti arahan trainer, bertanya jika belum mengerti. Mungkin tidak cukup dua tiga kali training, namun sepuluh kali training baru mengerti.
Kesimpulan
AI sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan, termasuk pendidikan, sehingga guru dan pendidik perlu beradaptasi agar tidak tertinggal. Namun, penggunaan AI tidak boleh diterima mentah-mentah, sebab tetap dibutuhkan sikap kritis dan rujukan dari sumber terpercaya seperti buku dan jurnal. Dengan memiliki growth mindset, guru dapat memanfaatkan AI sebagai alat bantu tanpa kehilangan daya pikir dan peran intelektualnya. --KRAISWAN
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI