Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerja Mati-Matian, tapi Menjaring Angin (?)

6 Agustus 2025   15:11 Diperbarui: 6 Agustus 2025   15:11 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi usaha orang menjaring angin | foto: teologikerja-org, Pixabay.com via tribunnews.com, olah: KRAISWAN

Ada orang yang bekerja keras, sampai mati-matian untuk mengumpulkan harta. Kelak, jika ia sudah meninggal, anaknya bisa bahagia, tidak harus menderita sepertinya. Faktanya, alih-alih bahagia, anak-anak justru bermusuhan karena rebutan warisan.

***

Kebanyakan Anda pasti tahu penggalan lagu ini: Apa yang dicari orang... uang. Uang, uang, uang; itu yang dikejar orang.

Uang bukan segala-galanya, tapi banyak hal butuh uang. Uang tidak dibawa mati, tapi kalau tidak punya uang rasanya mau mati.
Begitulah faktanya. Apalagi di negeri Konoha, uang bisa mengendalikan segalanya. Sehingga banyak orang memburu uang, tak peduli jika menginjak-injak etika dan hukum.

Mau menikah butuh uang. Mau melahirkan butuh uang. Mau b*nuh diri juga butuh uang, misal beli baygon atau bahan beracun lainnya. Bahkan ada gereja yang mengajarkan bahwa uang menjadi penentu iman jemaatnya. Kalau tidak kaya, berarti kurang beriman.

Itulah sebabnya, banyak orang bekerja keras sampai mati-matian untuk mencari uang. Apakah ini salah?

Dalam perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Lukas 12:13-21), Yesus bersikap seolah-olah anti dengan orang kaya. Seorang diceritakan sangat kaya, sampai lumbungnya tidak sanggup menampung semua hasil tanahnya. Ia bingung mau ditaruh di mana harta bendanya? Ia berniat membongkar gudang, membuat yang lebih besar. Baru merencanakan, besoknya orang ini mati. Berarti Yesus anti orang kaya, bukan?

Tidak. Yesus tidak anti orang kaya. Ia justru bisa berinteraksi dengan semua kalangan, baik miskin atau kaya, pejabat atau rakyat biasa, rohaniwan atau orang berdosa.

Yesus mengajarkan bahwa apa yang kita miliki harusnya bisa dipakai untuk melayani sesama. Apa yang hendak disampaikan Yesus dari perumpamaan ini?

Dalam ayat 15, kita diingatkan supaya berjaga-jaga. Lukas 12:15 (TB) Kata-Nya lagi kepada mereka: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu."

Kita juga harus waspada terhadap ketamakan dalam diri kita. Kata "aku", "ku" yang berorientasi pada diri sendiri, dalam Alkitab TB 2 disebut sebanyak 13 kali. Yesus mengingatkan akan ketamakan dalam diri kita.

Mahatma Gandhi pernah berujar tentang ketamakan. "Bumi ini cukup untuk memberikan kebutuhan semua manusia, tapi tak pernah cukup untuk satu orang serakah."

Ketamakan bisa memutuskan hubungan kekeluargaan dan persahabatan. Gegara tamak, saudara bisa menjadi lawan, bahkan saling menghilangkan nyawa.

Perumpamaan ini Yesus berikan karena ada orang yang berebut harta dengan saudaranya. Bisa jadi karena salah satu orang ini yang bersikap serakah. Yesus memberi penegasan. Yesus tidak melarang kita menjadi kaya, tapi harus waspada dengan sikap ketamakan. Hanya memperbanyak uang, tanpa pernah puas atau bersyukur.

Orang rela mengejar uang untuk menjadi kaya, sampai membiarkan keluarganya hancur, tidak punya saudara atau sahabat sejati. Kalau ada orang mendekat, hanya karena mau uangnya.

Yesus menyebut orang kaya ini: bodoh. Kekayaan yang dimiliki tidak menjamin hidupnya akan baik-baik saja. Demikian juga kita. Harta berlimpah tidak bisa menjadi andalan bagi hidup kita.

Orang bisa membeli kasur yang mahal dan empuk, tapi tidak bisa membeli kondisi tidur nyenyak. Tidur di hotel bintang 5 misalnya, tapi kalau tidak bisa tidur nyenyak, percuma.

Orang bisa membeli banyak buku, membayar uang untuk mendapat gelar, tapi tidak bisa membeli kepandaian. Orang bisa membayar dekorasi pernikahan mewah, tapi tidak bisa membeli keharmonisan dalam rumah tangga. Orang bisa membeli makanan lezat, tapi tidak bisa membeli nafsu makan.

Orang bisa mengundang teman berkumpul di rumah, makan di restoran mahal; tapi tidak bisa membeli persahabatan sejati. Dari banyak teman kita, mana yang merupakan sahabat sejati? Orang bisa membeli rumah mahal, pengawal mahal, asuransi kesehatan mahal, tapi tidak jaminan memberi keselamatan pribadi.

Harta benda tidak bisa dipakai untuk menunda kematian. Kalau waktunya meninggal, tidak bisa ditolak atau ditunda. Ada tradisi unik saat orang meninggal, misalnya dalam tradisi orang Tionghoa. Orang meninggal itu biasanya dibawakan sesuatu di dalam peti matinya. Rumah? Mobil? Sertifikat? HP? Alkitab?

Demikian diucapkan Tuhan Yesus. Berapa pun harta yang dimiliki, takkan dibawa mati. Pengkhotbah menyebut, segala usaha di bumi ini hanyalah usaha menjaring angin. Inilah pekerjaan yang sia-sia. Pengkhotbah mengingatkan, sumber kehidupan kita adalah Tuhan, bukan harta kekayaan.

Saking seriusnya orang mengejar uang, sampai lupa dengan keluarga. Tidak pernah mengobrol, apalagi rekreasi dengan keluarga. Mengabaikan diri sendiri, tidak menjaga kesehatan, tidak makan secara teratur, kesehatan terganggu, akhirnya sakit. Uangnya malah habis dipakai untuk berobat.

Jika Anda diberi pilihan, memilih uang atau kesehatan? Pilih uang atau Tuhan? Banyak orang memilih uang, melupakan Tuhan hanya karena jabatan dan kekayaan. Padahal, hanya Tuhan yang bisa memberikan hidup yang kekal. --KRAISWAN

-- terinspirasi dari khotbah Pdt. Yefta

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun