"Mulutmu harimaumu." Begitulah bunyi sebuah iklan televisi di awal 2000-an. Pesan yang sederhana namun tajam: apa yang keluar dari mulut bisa melukai orang lain.
Harimau menyerang hanya ketika merasa terancam, terganggu, lapar, atau dalam kondisi "bad mood". Alam menyediakan sumber daya berlimpah yang dapat mencukupi kebutuhannya. Jika kebutuhan terpenuhi, harimau tak perlu menyerang tanpa alasan—kecuali memang ia mencari musuh.
Selain harimau, ada satu analogi lain yang menarik yakni api.
Relativitas tentang Api
Api memiliki dua sisi. Ia panas, dapat membakar, melukai, sampai memusnahkan. Tetapi api juga mampu menghangatkan, memasak makanan agar layak santap, bahkan membangkitkan semangat bagi jiwa yang lelah.
Api bisa menjadi sumber cahaya yang menyingkirkan kegelapan. Maka, ketika lidah dianalogikan sebagai api, pilihan penggunaannya menentukan hasilnya: menghancurkan atau memberi kehidupan.
Banyak Orang Pintar, Sedikit yang Bijak
Kecerdasan bukan jaminan kebaikan. Orang boleh memiliki ilmu setinggi langit, tetapi bila tak mampu mengendalikan lidahnya, kepintaran itu justru berpotensi merusak. Terlalu banyak orang pintar yang memilih mengkritik, memojokkan, bahkan memfitnah daripada membangun.
“Ya, memang begini cara bicaraku—tidak bisa halus,” begitu alasan yang sering diungkapkan. Padahal, perkataan yang keluar merupakan cerminan hati.
Perkataan adalah Cerminan Hati
Hati yang bersih menghasilkan kata yang menenangkan, sementara hati yang keruh akan meluapkan kata-kata yang melukai. Bila seseorang terbiasa berkata kasar lalu berdalih “sudah dari sananya begitu,” sesungguhnya masalah utamanya ada di hati, bukan di lidah.