Ketiga, bungkus tanah tersebut dengan plastik yang diberi beberapa lubang atau lebih bagus dengan ijuk kelapa. Lalu diikat kuat dan rapat. Pastikan batang tersebut tetap lembab agar merangsang pertumbuhan akarnya, rutin disiram kalau perlu. Dua batang aku cangkok, selesai dibungkus, tinggal menunggu si akar-akar menembus ijuk. Wah, senangnya hati ini. Kelak pasti bakal mendapat hasil.
Baca juga: Memang, Makin Tinggi Suatu Pohon Kian Kencang Angin Bertiup
Beberapa bulan kemudian...
"Le, iku batang alpukat yang kamu cangkok sudah berbuah lebat tuh. Tapi kayanya kalau alpukat kan ndak bisa dicangkok...", tutur perempuan yang tak pernah sekolah itu. Sumpah...? Begonya aku! Pantas, sewaktu proses mencangkok ditanya tetangga, "Mencangkok ya, Kris?", bangga aku menjawab "Ya". Pasti diketawain luar biasa.
Sebagai lulusan pendidikan fisika yang mengajar jenjang SD, aku malu semalunya. Mau ditaruh di mana muka ini. Anak SD juga tahu, kalau alpukat tidak termasuk pohon yang bisa dicangkok, melainkan disetek (disambung dengan ujung tunas dari tanaman lain yang sejenis). Yah... inilah caraku meratapi ke-tulalit-anku.
Tapi, di sini bagian menariknya. Aku, tanpa sedikitpun memikirkan niat jahat melukai si pohon alpukat. Disayat, dikelupas kulitnya, dikerok kulit arinya, hiii.... Pasti sakit ya. Tapi, malah si batang alpukat mengeluarkan bunga sangat lebat, padahal baru saja berbuah dan dipanen. Perkara bunga itu nanti berkembang menjadi bakal buah atau tidak, itu soal belakang. (Culun. Kan memang ada beberapa jenis tanaman buah yang kalau dilukai malah makin rimbun buahnya)
Aku mengambil suatu refleksi. Pohon alpukat yang tidak punya akal, yang tidak lebih mulia derajatnya dari manusia, Ketika dilukai malah bisa berbunga. Adakah manusia menjalani langkah yang sama? Bisakah kita menebar keharuman meski dilukai, dicaci bahkan diancam...?
Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. -- Matius 5:39
Revolusioner. Begitulah ajaran Yesus, yang mengajarkan "memberi pipi kanan" pada orang yang "menampar pipi kiri". Radikal. Tak masuk akal. Namun, inilah pengajaran tentang pengampunan sejati. Sikap tetap mengasihi betapa pun telah disakiti.
Contoh pemberian "pipi kanan" barangkali dihayati oleh orang-orang seperti Basuki T. Purnama. Meski difitnah, dibenci, dicemarkan, bahkan diancam; dia mau mengampuni. Hidupnya tidak difokuskan pada usaha membalas orang yang memusuhinya, melainkan berkarya dan memberi manfaat bagi sesama.
Di bulan Ramadan ini, meski masih di tengah pandemi akibat Covid-19, kiranya pekerjaan dan ibadah kita senantiasa memancarkan keindahan dan keharuman. Tetap mengasihi, meski sering disakiti.
Salam,