Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"New Normal", Kapan Indonesia Siap?

29 Mei 2020   15:29 Diperbarui: 2 Juni 2020   10:40 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penerapan sosial distancing di dalam MRT Jakarta, foto: ISTIMEWA

Bukan yang paling kuat akan bertahan, tapi paling adaptif.

Pandemi Corona mengharuskan kita--kapan dan di mana pun lahirnya, apa pun latar belakang dan kedudukannya--punya kemampuan menyesuaikan diri (adaptif). Kita mulai bosan melawan dari rumah, dan mempertanyakan, "Kapan berakhir?"

Lockdown, PSBB, Physical Distancing, dan larangan mudik

Virus yang mudah menular ini membuat petinggi negara menyusun strategi masing-masing untuk memenangi perang. Dari keyakinan hanya flu biasa, penguncian wilayah, PSBB, Physical Distancing, sampai larangan mudik. Apakah berhasil?

Pemerintah Indonesia teguh tidak melakukan lockdown, meski sejumlah oknum lantang berteriak. Hal PSBB di Jakarta misalnya, yang katanya sukses menekan penularan, justru jadi bumerang kala direlaksasi.

Hal ini membuat "jurus terampuh" Physical Distancing ala Jokowi lenyap kesaktiannya seminggu menjelang lebaran, saat kelompok yang nyaris terzalimi karena tak dapat THR menjejali pusat-pusat perbelanjaan, ibarat hari tanpa pandemi.

Himbauan "jangan mudik" juga hanya angin lalu. Kaum urban lebih khawatir tak bisa lebaran bareng keluarga dibanding membuahtangankan virus. Kelompok ini diisi manusia k(b)ebal karena rajin sembahyang.

Harga masker dan handsanitizer telah normal, tapi kurva korban positif tetap menanjak. Lalu, jurus apalagi?

Wacana "New Normal"

Pernyataan badan kesehatan dunia WHO, vaksin Corona tersedia paling cepat tahun 2021. Artinya 18 bulan ke depan kita harus hidup berdampingan dengan Corona. Bisakah kerja, belajar, dan ibadah di rumah selama itu?

Kita tak boleh terus bersembunyi dari Corona, seperti dilakukan pimpinan Korut yang dikenal sadis, tapi takut terinfeksi (hadeuh!).

"New normal" berarti hidup berdamai dengan COVID-19, terang Jokowi. Cina, negara asal virus, menjadi pionir. Para murid telah kembali ke sekolah, kantor dan pertokoan mulai dibuka dengan protokol ketat. Jepang mengekor.

Siapkah Indonesia? Banyak kalangan menilai, "Tidak" jika diterapkan di bulan Juni. Langkah ini mewajibkan orang menjaga jarak di ruang publik. Fenomena "Indonesia Terserah" membuktikan prasyarat ini gagal dipenuhi.

Baca juga: Yang Lebih Menakutkan dari Corona

Andai Manusia Seadaptif Tardigrada

Tardigrada disebut juga beruang air, merupakan hewan terkecil berukuran 1,5 mm, pertama kali dideskripsikan oleh Eprhaim Goeze (1773).

Penampakan Tardigrada, foto: Eye of Science
Penampakan Tardigrada, foto: Eye of Science

Hewan ini disebut paling adaptif karena mampu bertahan di lingkungan paling ekstrem (di lingkungan beku 0 derajat sampai bertemperatur paling tinggi 151 derajat celcius), menahan radiasi sebesar 570.000 Rad, 1000 kali lebih banyak dari hewan lainnya.

Dalam fase cryptobiosis beruang air menghentikan untuk sementara proses metabolisme dalam kondisi benar-benar kering, tak membutuhkan air atau makanan.

Hewan ini bahkan bisa hidup di luar angkasa (pernah mengangkasa bersama pesawat luar angkasa FOTON-M3 oleh European Space Agency) Wow!

Seandainya manusia punya kemampuan serupa, bisa jadi flu jenis apa pun tak mempan. Tapi Tuhan tak mengizinkan, mencegah manusia makin sombong dan semaunya.

Meski begitu, bukan berarti manusia lemah. Ada poin lain yang Tuhan anugerahkan agar adaptif, disebut akal budi. Itu pun jika manusia mau memakainya. Adaptif terhadap budaya baru, disiplin baru, pola pikir baru dan segala kebaruan lainnya.

Kapan "New Normal" Siap Dijalankan?

Saya membayangkan "new normal" di Indonesia kelak. Orang naik angkot bersama maksimal 5 penumpang lain. Ojol motor hanya untuk pesan makanan, sedang mobil maksimal 2 penumpang. Tak ada yang duduk berdempet apalagi berdiri di KRL atau busway. Atau semua pelaku urban harus berkendaraan pribadi?

Siswa usia kecil belajar di shift pagi, usia besar di siang hari. Pekerja industri masuk tiga kali seminggu (sehari masuk, sehari libur), dengan pendapatan separo dari normal. Orang makan di restoran atau nonton bioskop hanya melalui layanan booking sebelumnya.

Frekuensi ibadah di gedung ditambah, memberi jarak antatjemaat. Para pedagang tak punya lapak harus memikirkan stategi baru--via online misalnya--jika tak ingin dagangannya dikeruk Satpol-PP.

Akankah bisa lebih normal dari imajinasi di atas? Lebih jauh, apakah kita (dan pemerintah) siap dan berani berdamai?

Mungkin mendekati realita jika pemerintah tegas dan konsisten dalam peraturan, disambut masyarakat tidak beringas dan kuat komitmen menjalankan protokol kesehatan.

Salam,

Referensi:

[1], [2], [3], [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun