Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Yang Lebih Menakutkan dari Corona

17 Mei 2020   19:21 Diperbarui: 19 Mei 2020   13:28 1993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Salatiga telah normal | KRIS WANTORO

Percuma kerja dari rumah, belajar dan ibadah di rumah; Sia-sia memborong empon-empon, menimbun handsanitizer dan masker; jika masih uyel-uyelan.

Dua minggu pertama puasa (awal Mei) jalanan dan beberapa tempat publik di Salatiga lengang. Tiap hari rasa weekend.

Namun, sekitar seminggu menjelang lebaran, kehidupan telah normal. Jalanan mulai padat. Gerai ATM penuh sampai mengantri.

Bahkan emak-emak sampai lelaki santuy saja berdempetan belanja sayur, seolah di situ satu-satunya penjual sayur.

Jagad Twitter diramaikan dengan tagar #indonesiaterserah. Seperti disaksikan Melanie Subono dari akun Instagramnya @melaniesubono (14/05) di Terminal 1 dan 3 Bandara Soeta, semua orang jadi punya surat tugas.

Fenomena inilah yang memuncakkan kekesalan tenaga medis pada pemerintah yang membobol protokol kesehatan, juga masyarakat yang tak betah jaga jarak. (kompas.com 17/05)

Salatiga yang tidak PSBB, wajar kalau lebaran tahun ini normal. Kok saya tahu, berarti saya keluyuran? Ada dinas kenegaraan yang---tak membutuhkan surat tugas---mutlak dilakukan: mengantar jemput ibu bekerja di sebuah industri makanan.

Dalam mobilitas harian itu saya menemui kerumunan di jalanan sejak pagi. Apalagi menjelang jam berbuka, beh!

Lalu kemarin (16/05) saya harus ke pasar untuk belanja sembako. Ada seorang kakak alumni meminta bantuan menyiapkan sejumlah paket sembako.

Mulanya saya pasang pertahanan, kenapa saya? Saya bukan juragan atau anak tauke sembako. Saya juga tak ingin ambil resiko dengan kelayapan ke pasar. Setelah dipaparkan bahwa paket ini untuk para mahasiswa, saya langsung "OK!".

Mengambil resiko demi membantu menyiapkan sembako | KRIS WANTORO
Mengambil resiko demi membantu menyiapkan sembako | KRIS WANTORO

Saya pernah jadi mahasiswa rumahan dengan ekonomi keluarga pas-pasan. Jadi saya bisa bayangkan nasib mereka yang kirimannya dari kampung terlambat. 

Anggaplah ini sebutir kebaikan yang saya bisa taburkan. Sebisanya saya mampir di kios yang tak menimbulkan kerumunan.

Sampai di rumah saya langsung mandi dan cuci pakaian. Sungguh, jika bukan demi menolong mereka, saya akan mikir ulang ke pasar. Apalagi salah satu pasien positif di Salatiga pernah beredar ke pasar tradisional. Kan horor.

Nah, saya tidak tahu apa motif manusia yang berjubel itu. Tidakkah mereka takut terinfeksi? Yang sudah mengikuti prosedur saja masih bisa tertular---secara kita tak punya detektor siapa-siapa yang berjarak kurang dari dua meter dari kita terinfeksi atau sehat.

Mungkin pikirnya, "Kan kalau sakit (Corona) bisa sembuh!" Atau, "Kan sudah ada vaksinnya!", lagi diteliti kali bos! Butuh setidaknya dua puluh tahun mengembangkan suatu vaksin. (voaindonesia) DUA PULUH TAHUN. Padahal dalam hitungan bulan si virus bisa bermutasi. Manusia, oh manusia...

Poster
Poster "INDONESIA??? TERSERAH", gambar: twitter/@yaelahhnunn

Bagi mereka nampaknya hal-hal yang lebih menakutkan dari Corona yaitu..

...Kalau lebaran tak meriah

Saya tak pernah bermaksud mendegradasi makna lebaran. Setelah saudara-saudara kita berjuang sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, lebaran menjadi puncak kemenangan yang layak dirayakan. Kemenangan menahan diri dari nafsu dan segala rupa kedagingan.

Tidak juga bermaksud menyepelekan pentingnya ikatan silaturahmi dengan keluarga dan kerabat. Ikatan yang telah terjalin seumur hidup takkan mudah dihilangkan begitu saja oleh virus Corona.

Namun, jika kita kita mau berpikiran lebih panjang, silaturahmi pun tak berkurang maknanya dengan bantuan teknologi. Video call, misalnya.

Lebih logis mana: tidak bersalam-salaman tahun ini atau tidak bisa berjumpa tahun depan karena harus terbaring di rumah sakit bahkan (amin-amit) nyawa direnggut virus?

Mereka yang mengerubungi pasar dan pusat perbelanjaan ini tak lain berburu sajian untuk di rumah. Lebaran berarti banyak jajanan dan penganan memenuhi meja tamu.

Bakal aneh jadinya jika lebaran malah kosongan, tak meriah. Semoga saya salah. Anggap saja kerumunan itu belanja kebutuhan harian.

...Kalau tidak nongkrong

Kabar baiknya---lebih tepatnya, sama buruknya---tidak hanya manusia +62 yang demen berkerumun. Di daratan lain tempat menara Eifel bertengger sana, pemuda-pemudinya juga pada nongkrong di tepi kanal dan taman, seperti diceritakan Mbak Derby Asmaningrum di sini.

Mungkin itulah mengapa manusia diberi gelar makhluk sosial. "Bisa sakit" kalau tidak bersosialisasi. Rupanya kecanggihan teknologi Zoom, Google Meeting tak bisa menukar kualitas tatap muka.

Satu sisi baik, sesuai kodratnya manusia diciptakan memang untuk berelasi. Namun jika pertemuan itu kurang berfaedah, kontra dengan upaya pencegahan virus, tak bisa dibenarkan.

Sedangkan petugas medis berjuang 24 jam, merelakan waktu dan kesempatan berkumpul dengan keluarga di rumah demi menangani pasien yang terpapar virus mematikan. Masih tega pada nongkrong?

...Kalau tak bisa merayakan kemenangan

Sepulang belanja sembako itu saya bagai melihat diri saya sepuluh tahun ke belakang. Setidaknya dua puluh pasang anak SMA berkonvoi dari daerah hutan karet memakai seragam dipiloks, tanpa helm, masker?

JANGAN HARAP!

Entah apa yang mereka rayakan di tengah pandemi. Kebebasan, atau justru kebodohan diri.

Bagi saya, mereka tak lebih dari generasi bermoral rendah. Lulus karena "anugerah Tuan Corona", yang di sisi lain merenggut hidup dan kehidupan jutaan manusia.

Mereka, generasi lembek ini, saya yakin tak bisa memperpanjang SIM karena tak lolos psikotes---itu pun kalau punya.

Saya benci sama sekali tindakan mereka, bukan karena dulu di masa mereka saya tidak ikut coret-coret baju. Tak berguna.

Ilustrasi kebodohan vs COVID, gambar: twitter/herditiya1
Ilustrasi kebodohan vs COVID, gambar: twitter/herditiya1

Sebelum pandemi saja, mereka belum tentu bisa mandiri dan tidak menyusahkan orang lain. Di tengah keganasan Corona, saat mereka tidak harus berhadapan dengan laskar soal-soal rumit, mereka justru mimpi jadi pahlawan. Generasi gembus! Mau jadi apa bangsamu nanti, nak!

Tapi saya juga salah mengkritik gelora muda alamiah mereka, sedangkan orang dewasa tidak memberi teladan, bahkan pemerintah melonggarkan mobilitas publik.

Bertobatlah ya nak, ingat bapak ibumu di rumah mungkin megap-megap membayar bermacam tagihan. Syukur kalau mereka masih kerja dan ada pemasukan.

Pikirkan bahwa nilai rapor kalian belum tentu laku dalam peradaban masyarakat pasca pandemi. Tak ada jaminan kalian sukses mendaftar kartu prakerja. Lalu dengan apa kau pikir akan bertahan hidup?

Semoga masih ada jiwa-jiwa waras yang tidak men-terserahkan Indonesia.

Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun