Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

K13 Asyik, Asalkan Gurunya Cerdik

8 Agustus 2019   13:38 Diperbarui: 9 Agustus 2019   11:45 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Jacey dengan kreatif membuat penopang bagi kudanya) | dokpri

Suatu hari, di aula salah satu hotel di Salatiga, saya dan seorang rekan mengikuti Pelatihan Kurikulum 2013 selama dua hari. Wuiiiiih, judulnya saja pelatihan. Pasti selesai acara jadi mahir menggunakan kurikulum, dong. 

Faktanya, tidak. Pelatihan dua hari itu tidak lebih dari presentasi narasumber---yang materinya dengan limpah bisa diunduh di internet, pemberian tugas, dan presentasi kelompok. Saya belum melihat pemerintah daerah ahli dalam K13. Saya justru mendapat kekayaan inspirasi dari rekan-rekan guru di sekolah.

(Hanya) Sejauh itukah peran pemerintah men-training...?

Pembeda Kurikulum 2013 atau Kurtilas atau K13 dengan kurikulum sebelumnya adalah model tematik, pembelajaran berdasarkan tema. Misalnya, kelas 5 SD dalam satu semester membahas lima tema. Setiap tema berisi 3 subtema, masing-masing terdapat enam pembelajaran (1 pembelajaran/hari). Maka, satu tema diselesaikan dalam tiga minggu. Kelihatannya asik, konsep dan materinya sudah tersaji lengkap.

Tematik sendiri memuat beberapa mata pelajaran. Misal:

Pada pembelajaran ke-2 Tema 1, subtema 1 muatan Seni Budaya dan Prakarya, Indikator 3.1.1 adalah Menceritakan cerita yang terdapat pada gambar dan muatan IPA, Indikator 3.1.1 yaitu Menggambar organ gerak hewan. (Ada lagi muatan Seni Budaya dan Kesenian, tidak saya masukkan karena sudah dicakup IPA dan Bahasa Indonesia)

Bisa pembaca bayangkan, berapa lembar Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang harus dicetak. Tak perlu dihitung, saya beritahu: buanyaaaaaak. Indikator ini bersumber dari silabus yang ditetapkan pemerintah, menjadi bahan baku pembuatan RPP. Nah, di era komunikasi saat ini tinggal Googling, Ctrl+C, Ctrl+V, ganti tanggal dan identitas, Print. Beres!

Masalahnya untuk mempraktikkan dalam pembelajaran guru harus cerdik. Muatan yang dibahas sangat banyak, kegiatannya juga. Jika pembahasannya kemana-mana, waktunya kurang. Atau ekstrimnya, waktunya berlebih, jika penyampaiannya monoton siswa jadi cepat bosan. Meminta siswa membaca dan menghafal semua materi? Ayo move on!!!

Meski paling baru, menjadi rahasia umum bahwa K13 tidak relevan dengan Ujian Nasional. Pembelajarannya tematik, tapi tetap tiga mapel yang diuji nasional-kan. Lucunya menteri pendidikan kita. Disintegrasi yang dipupuk. 

Demi menyiasati kondisi itu, bagian kurikulum sekolah saya menjadwalkan mapel di luar tematik yang akan diujikan (Sains, dan Matematika), dan yang menjadi ciri khas kami (Bahasa Inggris, Mandarin dan Bahasa Jawa), sedangkan dalam pembahasan tematik akan dikuatkan muatan Bahasa Indonesia.

Jujur, tiga minggu liburan, satu minggu raker, dua hari dilatih pemerintah, saya masih merasa gentar mengajar tematik. Mampukah saya? Ini juga tahun pertama sekolah kami menerapkan K13. 

Bagaimana jika sejak pertemuan pertama murid, eh siswa, eh peserta didik (bodo amat mau diganti-ganti sebutannya, tidak menentukan kelulusan, kok!) langsung bosan? Saya harus melakukan persiapan khusus, rela pulang belakangan demi mempersiapkan pelajaran esok hari. Rupanya, hal tidak terduga saya temukan dari murid-murid.

Anak sekarang malas menulis

Netijen Indonesia gemar berbagi hoaks karena malas membaca. Jangan tanya kenapa murid zaman now malas kalau guru dan orang tua saja enggan. Membaca ogah, apalagi menulis. Jangan kira beban ini hanya milik sekolah karena "Kami (orang tua) sudah membayar mahal". 

Anak diajari membaca-menulis-berhitung-menalar di sekolah. Saya setuju. Namun, proses ini harus diimbangi agar tidak kalah dengan Instagram, Youtube, PUBG atau konten digital lain yang akses dan pengaruhnya lebih kuat saat anak di rumah. Masih berani menyalahkan sekolah?

Menurut buku mendikbud, pada pembelajaran ke-2 salah satu langkah pembelajaran "Ayo Mengamati" kegiatannya yaitu "Siswa menyajikan dan mengomunikasikan hasil pengamatannya secara tertulis ke dalam kolom yang tersedia pada buku siswa". 

Sedangkan sekolah kami menggunakan buku BUPENA (BUKU PENDAMPING K13 Penerbit Erlangga) karena kelamaan jika menunggu dari pemerintah. Strateginya, saya kombinasikan BUPENA dan buku elektronik dari pemerintah.

Saya membagi murid menjadi 3 orang tiap kelompok. Setiap kelompok saya berikan satu lembar berisi rangkaian gambar, dengan kolom kosong di bawah setiap gambar. Tugas mereka adalah menuliskan cerita bebas tapi sesuai dengan gambar. 

Saya was-was kalau pembelajaran ini tidak berhasil. "Setiap kelompok wajib menceritakan tiap gambar dalam minimal 3 kalimat." Perintah ini nampak terlampau berat bagi mereka.

Dua puluh menit kemudian...

dokpri
dokpri
They did it!

Dengan sedikit stimulus, mereka bisa mengembangkan rangkaian gambar menjadi cerita. Saya bangga!

Tidak sempurna memang, tapi di zaman medsos seperti saat ini, murid yang baru saja naik dari kelas 4 bisa merangkai cerita berdasarkan imajinasi, adalah sebuah pencapaian.

Ini juga salah satu target dari K13. Tidak melulu tentang pengetahuan dan hafalan, murid diharapkan mengomunikasikan pikirannya melalui tulisan.

Beragam cerita yang ditulis murid saya, ada yang lucu, namun sekaligus ironis. Judulnya "Panci Goreng". Apa hubungannya? Mereka menceritakan gambar tersebut secara wajar setidaknya hingga gambar ketiga. Di ujung cerita, kelinci yang mereka pelihara justru digoreng, lalu dimakan! 

Waduh, tega kali... Haruskah saya menyalahkan tulisan mereka karena tidak sesuai dengan standar saya? Namanya juga anak-anak. Saya anggap itu sisi liar imajinasi mereka. Saya mengarahkan, meski ceritanya bebas harus memperhatikan etika dalam menulis. Tidak disarankan memakan hewan peliharaan, karena hewan itu menjadi seperti teman kita sendiri, kecuali hewan khusus ternak.

I finish my horse!

Masih di subtema 1, terdapat muatan IPA dalam topik "Organ Gerak Hewan". Kegiatannya adalah membuat bagan organ gerak hewan. Menurut buku mendikbud, salah satu contoh bagannya adalah hewan kuda. Pikir saya, bagan tersebut sudah perfect. Tinggal dicetak*1) di kertas BC, diwarnai, dipotong, dirangkai, beres! Siapa sangka, ternyata kakinya hanya dua, pun depan dan belakang posisinya berbeda.

dokpri
dokpri
Saya sampai harus mengedit bagan dengan (puji Tuhan saya kok ya bisa sedikit menggunakan) aplikasi CorelDraw. Begitu ada anak yang selesai memotong, saya bantu merangkai, dan... tidak bisa berdiri. Apa salahnya? Saya merasa---mungkin seperti kebanyakan guru---ceroboh karena tidak mencoba lebih dulu. Dikarenakan waktu pengerjaan sudah habis, saya meminta murid-murid melanjutkan di pertemuan berikutnya.

Teladan sejati adalah melakukan sebelum mengajarkan

Esoknya, saya dikejutkan oleh karya Jacey, yang menyelesaikan bagan kuda pertama kali dan bisa tampil tegak! WOW! Tak pernah saya bayangkan sebelumnya, dari proyek gagal ini murid perempuan saya yang pernah mengecap pendidikan negeri singa memiliki kemampuan memecahkan masalah. Cerdas! Pola pikirnya beda dari murid Indonesia. 

Bagi anak pada umumnya mungkin menganggap tugas ini tidak penting karena "Tidak dinilai, kok". Ini salah satu bukti, bahwa mau tidak mau harus diakui sistem pendidikan tetangga lebih unggul dibanding kita. "Di kelas, murid-muridnya diam menyimak, tidak seperti di sini, ramai", Jacey menjawab keingintahuan saya tentang kondisi pendidikan di Singapura.

Jacey bisa melihat gambaran utuh dari bagan yang saya berikan, yaitu kuda mengangkat kaki depan, bukan berdiri dengan keempat kaki menginjak tanah seperti anggapan saya. Harus saya akui, di bagian ini imajinasi murid saya lebih tinggi. 'Kesempurnaan' buku K13 dan keteledoran saya menjadi problema yang ditemukan murid saya dan lalu dia pecahkan! Amazing!

Di reflection book-nya*2), Jacey mengungkapkan kepuasannya "Yeah, I finish my horse!"

Apakah menurut anda bagian ini penting? Rasanya tidak, karena tidak masuk Ujian Nasional. Bagi saya,

Kemampuan memecahkan masalah lebih penting, melampaui skor dalam ujian

Dua tahun pengalaman saya menjadi guru, pertama kali mengalami K13; barulah saya bisa membuktikan bahwa kognitif bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan. Dari hal-hal di luar kotak, saya bisa menilai kemampuan murid meski tak selalu bisa diukur dengan angka.

Beruntungnya, banyaknya ide di kepala saya berjodoh dengan konsep tematik yang merestui guru melakukan bermacam model dan kegiatan dalam pembelajaran. Tidak ingin angkuh menganggap diri pintar, saya memang suka melakukan eksplorasi dalam pembelajaran. Saya akan berusaha menggunakan berbagai metode demi memfasilitasi murid-murid belajar dengan gayanya masing-masing.

K13 mungkin bukan kurikulum paling sempurna, namun dari tahun ke tahun, pemerintah kita berusaha melakukan pembaruan. Sesuatu yang baru tentu tak luput dari perbaikan-perbaikan. Kedua, pembaruan yang ada hendaknya disesuaikan dengan budaya bangsa yang sangat beragam. Jangan sampai kita latah, menyebabkan karakter bangsa luntur digantikan budaya global. Ketiga, baik guru maupun orang tua hendaknya tidak menghakimi anak dengan angka rapor. Ada banyak kemampuan yang harus diasah dengan bermacam model pembelajaran, apapun kurikulumnya.

Bagaimana dengan anda? Asikkah K13?

_____________________________

*1) Sekolah kami memiliki web khusus untuk berbagi materi. Bagian IT akan mengunggah materi dan jadwal bulanan setiap bulan, orang tua akan mengunduh lalu mencetaknya untuk anaknya.

*2) Ciri khas lain sekolah kami, setiap anak wajib menuliskan refleksi di buku khusus dari setiap pelajaran, setiap hari. Buku ini akan dicek, dikomentari dan ditandatangani oleh wali kelas dan orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun