Bandung, Kompasiana.com - Kebijakan kenaikan tunjangan anggota DPR RI kembali menuai sorotan publik. Di tengah berbagai persoalan bangsa, mulai dari angka kemiskinan, pengangguran, hingga beban utang negara, Isu ini dianggap tidak tepat waktu. Tak ayal, masyarakat merespons dengan demonstrasi di berbagai daerah.
Bagi sebagian orang, demonstrasi kerap dipandang sebagai aksi gaduh yang mengganggu ketertiban. Namun, jika kita menelisik lebih dalam, justru ada hikmah penting yang bisa dipetik dari gelombang protes tersebut.
Rakyat Bersuara, Demokrasi Berdenyut
Demonstrasi adalah bahasa rakyat yang paling lantang. Di ruang-ruang formal, aspirasi seringkali teredam. Namun di jalanan, suara rakyat menemukan tempatnya. Kehadiran massa di jalan adalah bukti nyata bahwa demokrasi masih hidup, rakyat tidak pasif, melainkan berani menegur wakilnya.
Alarm Moral untuk Legislator
Bagi para anggota DPR, demonstrasi ini ibarat alarm yang berdering kencang. Pesannya sederhana: jangan pernah abai pada rasa keadilan publik. Kenaikan tunjangan mungkin sah secara prosedural, tetapi tidak serta merta sah secara moral. Ketika rakyat menolak, itu pertanda ada jurang antara keputusan politik dan nurani sosial.
Pendidikan Politik yang Mahal Harganya
Demonstrasi juga memberi pelajaran politik, terutama bagi generasi muda. Di sana mereka belajar bahwa politik bukan monopoli elit, melainkan ruang partisipasi semua warga. Isu kenaikan tunjangan DPR menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana kebijakan publik dibuat dan bagaimana rakyat bisa mengoreksinya.
Koreksi Sosial terhadap Kebijakan Elit
Tidak bisa dipungkiri, tekanan publik sering kali membuat kebijakan dievaluasi. Aksi protes mendorong DPR dan pemerintah untuk menimbang ulang: apakah pantas menaikkan tunjangan wakil rakyat, sementara banyak warga masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok? Inilah esensi kontrol sosial yang menjaga demokrasi tetap sehat.