Bandung, Kompasiana.com -Â Kemenangan tim sepak bola kesayangan adalah momen yang luar biasa. Tangis haru, teriakan bahagia, konvoi kendaraan, bahkan pesta kembang api semua jadi bagian dari euforia yang mengguncang. Tapi, bagaimana jadinya kalau perayaan itu berubah jadi perusakan fasilitas stadion? Aneh, ya? Tim menang, tapi stadion malah hancur.
Fenomena ini ternyata nggak cuma sekali dua kali terjadi. Di beberapa kota, terutama saat tim lokal menjuarai liga atau promosi ke kasta lebih tinggi, stadion yang seharusnya jadi tempat bersejarah malah berakhir rusak parah. Kursi penonton dicabut, papan iklan dirobohkan, toilet jebol, dan pagar-pagar dibongkar. Yang bikin heran: ini dilakukan oleh suporter tim yang menang. Kok bisa?
Ketika Euforia Kehilangan Arah
Wajar sih kalau senang luar biasa saat tim kesayangan menang. Tapi ketika rasa senang itu berubah jadi tindakan merusak, ada yang nggak beres. Euforia yang tidak dikendalikan bisa menjelma jadi ledakan emosi. Ada yang naik ke atap stadion, ada yang menyalakan flare sembarangan, bahkan ada yang menjadikan stadion sebagai ajang pelampiasan, entah dengan alasan "ekspresi kemenangan" atau hanya ikut-ikutan.
Padahal, stadion adalah milik bersama. Tempat itu dibangun bukan hanya untuk pertandingan hari itu saja, tapi untuk jangka panjang. Kalau rusak, siapa yang rugi? Bukan cuma pengelola, tapi juga klub, suporter itu sendiri, bahkan masyarakat sekitar.
Loyalitas yang Salah Kaprah
Sayangnya, di beberapa komunitas suporter, aksi seperti ini dianggap keren atau "bukti loyalitas." Semakin heboh, semakin merasa jadi bagian penting dari sejarah kemenangan. Padahal, itu salah besar. Mendukung tim kesayangan bukan berarti bebas merusak. Justru, suporter sejati adalah mereka yang ikut menjaga dan menghormati rumah timnya yaitu stadion itu sendiri.
Kurangnya Edukasi dan Antisipasi
Faktor lain yang nggak bisa diabaikan adalah minimnya edukasi soal cara mendukung yang sehat. Banyak suporter muda yang belum punya pemahaman utuh tentang sportivitas dan tanggung jawab sosial. Selain itu, pengamanan dan antisipasi dari pihak panitia dan keamanan sering kali kurang maksimal. Ketika ribuan orang berkumpul dalam suasana emosional, tanpa pengawasan dan pengarahan yang jelas, risiko kerusuhan meningkat tajam.
Dampaknya Nggak Main-Main
Kerusakan stadion bukan urusan sepele. Biaya perbaikannya bisa miliaran rupiah. Belum lagi risiko klub dikenai sanksi, pertandingan kandang tanpa penonton, bahkan denda dari federasi sepak bola. Selain itu, citra klub dan suporternya juga bisa jatuh di mata nasional, bahkan internasional.
Dan yang lebih penting lagi: apa yang dilihat anak-anak dan remaja saat ikut menonton? Jangan sampai mereka tumbuh dengan anggapan bahwa merusak itu bagian dari "merayakan."
Saatnya Berubah: Rayakan Tanpa Merusak
Menang itu keren. Merayakan kemenangan itu wajar. Tapi merusak fasilitas? Itu bukan ekspresi, itu perusakan. Saatnya budaya suporter kita naik level. Kita bisa jadi suporter yang kreatif, ekspresif, tapi tetap bertanggung jawab. Nyalakan lagu dukungan, gelar koreografi keren, konvoi tertib semua bisa jadi bentuk perayaan yang beradab dan membanggakan.
Kalau tim bisa juara dengan perjuangan keras di lapangan, maka suporter pun bisa jadi juara dalam menjaga dan merawat warisan sepak bola: stadion yang megah dan aman untuk semua.
Yuk, rayakan kemenangan dengan cara yang benar. Karena cinta sejati itu bukan soal teriak paling keras, tapi soal menjaga apa yang kita cintai. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI