Emansipasi Ditelan Asap
Suara emansipasi dan kesetaraan gender telah menggema sampai ke sudut nusantara. Tetapi, benarkah wanita Indonesia berdaya seperti yang sudah disuarakan? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Kesetaraan hanya sampai pada mereka yang memperjuangkannya, meski demikian benarkah wanita dihargai hak kesetaraannya oleh pria dan budaya?
Pertanyaan demi pertanyaan bergulir karena banyak kecurigaan wanita tak sepenuhnya berdaya. Kekerasan bukan lagi secara fisik, kekerasan melanda wanita secara moral dan spiritual sejak lama.
Sebuah studi di Osaka, Jepang menunjukkan bahwa wanita hamil yang memiliki suami perokok memiliki resiko melahirkan bayi BBLR hampir 6 kali lebih tinggi daripada wanita hamil dengan suami bukan perokok.
Di negara maju seperti Jepang pun, wanita bisa dikalahkan posisinya oleh tembakau. Di Indonesia, prevalensi kematian wanita dengan kanker paru lebih tinggi daripada kanker payudara dan serviks. Bahkan, kanker payudara dan serviks pada wanita sekarang ini seringkali dikaitkan dengan kebiasaan merokok pasangannya.
Dalam membangun sebuah keluarga, pria membutuhkan wanita untuk banyak hal, mulai dari melahirkan generasi penerus, mendidik mereka, mengurus keluarga, bahkan menjadi wanita karir. Meskipun demikian, sudah menjadi fitrah apabila wanita dan anak-anak adalah kelompok rentan yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya.
Salah satu hak wanita dan anak-anak dalam keluarga adalah hak untuk sehat. Perlindungan keluarga dari paparan berbagai faktor resiko penyakit mutlak diperlukan, terutama bagaimana agar paparan tersebut bukan berasal dari orang terdekat.
Perilaku merokok di kalangan pria dewasa di Indonesia cukup tinggi, hampir 67 juta pria dewasa merokok setiap hari dan 70% diantaranya adalah orang miskin. Perilaku merokok adalah budaya diantara pria dewasa di Indonesia, dan wanita adalah minoritas di dalam trah budaya tersebut.
Saya memiliki beberapa orang kolega dengan cerita serupa tentang stigma “mandul” dan semuanya memiliki suami perokok aktif. Semuanya satu suara saat bercerita tentang “susahnya” mendapatkan keturunan, tetapi mereka seringkali jengah saat keluarga memberi mereka label “mandul”.
Saat datang ke klinik, jarang sekali suami yang bersedia memeriksakan kualitas sperma mereka, sehingga yang diterapi hanya si wanita dan selalu saja banyak alasan untuk menyudutkan posisi wanita sehingga memaksa mereka untuk mengalah, menjalani terapi tiada hasil, karena telah terjadi bias yang dipaksakan diantara pria dan wanita.