Mohon tunggu...
WAN NURAISHA
WAN NURAISHA Mohon Tunggu... mahasiswa

“Berapa harga empati? Berapa banyak dari kami yang sadar kau lakukan ini karena sesuatu?“

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Kurs Zimbabwe: Kisah Negara yang Kehilangan Kendali Mata Uangnya

11 Mei 2025   22:26 Diperbarui: 11 Mei 2025   22:26 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam artikel ini penulis yang bernama Wan Nuraisha mengangkat kisah Zimbabwe dalam mengelola sistem kurs yang bisa dibilang sebagai salah satu contoh paling ekstrem tentang bagaimana nilai tukar mata uang dapat lepas kendali dan memicu runtuhnya kepercayaan publik terhadap pemerintah serta seluruh sistem ekonomi. Negara ini ( Zimbabwe) bukan hanya mengalami hiperinflasi tetapi juga menyaksikan bagaimana kurs resmi dan kurs pasar gelap bisa berbeda jauh, menciptakan distorsi ekonomi yang sangat parah. Dari menghapus mata uangnya sendiri hingga kembali mencoba menghidupkannya, Zimbabwe telah melalui berbagai eksperimen moneter yang sering kali lebih berujung pada kekacauan ketimbang kestabilan.
Sistem kurs pada dasarnya adalah cara suatu negara menentukan nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang asing. Idealnya sistem kurs seharusnya mencerminkan kekuatan ekonomi, stabilitas fiskal, serta kepercayaan pasar terhadap pemerintah dan bank sentral. Namun di Zimbabwe yang terjadi justru sebaliknya, negara ini berkali-kali mengalami krisis nilai tukar akibat ketidakmampuan mengelola mata uang nasional secara kredibel dan  gagal dalam menciptakan sistem kurs yang transparan dan realistis terhadap kondisi pasar.
Salah satu titik balik yang paling signifikan dalam sejarah sistem kurs Zimbabwe terjadi pada awal 2000-an. Krisis ekonomi yang dipicu oleh kebijakan land reform yang agresif dan korupsi masif menyebabkan produksi pertanian runtuh dan sektor ekspor kolaps. Ketika devisa mengering dan penerimaan negara menurun drastis, pemerintah mulai mencetak uang dalam jumlah besar untuk menutupi pembiayaan negara. Kebijakan inilah yang menjadi pemicu hiperinflasi paling parah dalam sejarah modern, yang mencapai puncaknya pada tahun 2008 dengan inflasi tahunan yang diperkirakan mencapai 79,6 miliar persen. Dalam situasi tersebut, kurs resmi Zimbabwe Dollar (ZWD) menjadi tidak relevan. Pemerintah tetap mencoba mempertahankan nilai tukar resmi melalui sistem kurs tetap yang tidak masuk akal. Tidak hanya itu nilai tukar Zimbabwe di pasar gelap anjlok secara drastis. Sebagai contoh ketika kurs resmi menyatakan 1 USD = 30.000 ZWD, di pasar gelap nilainya bisa mencapai 1 USD = 2 juta ZWD atau lebih. Ketimpangan ini menciptakan distorsi harga, merusak mekanisme pasar, dan memicu spekulasi liar. Sistem kurs kehilangan fungsinya sebagai alat stabilisasi dan justru menjadi sumber ketidakstabilan.
Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah saat itu adalah memperkenalkan berbagai versi mata uang, dari ZWD, ZWN, ZWR, hingga ZWL (semuanya singkatan dari Zimbabwe Dollar dengan denominasi berbeda karena redenominasi berulang). Namun di setiap versi baru hanya bertahan sebentar sebelum kembali kehilangan nilai. Pada satu titik pemerintah bahkan mencetak uang dengan nominal 100 triliun dolar Zimbabwe, yang merupakan simbol dari sebuah betapa tak berharganya mata uang tersebut. Situasi ini menunjukkan bahwa tanpa dukungan kepercayaan publik dan disiplin fiskal, sistem kurs apa pun baik tetap, mengambang, maupun campuran akan gagal. Pada tahun 2009 zimbabwe mengambil sebuah keputusan yang terbilang cukup berani, Zimbabwe memutuskan untuk menghentikan penggunaan mata uang nasional dan beralih ke sistem dolarisasi. Mata uang asing seperti dolar Amerika Serikat (USD), rand Afrika Selatan (ZAR), dan pula euro diizinkan digunakan secara bebas. Melihat studi kasus tersebut seperti menunjukkan jika ini adalah pengakuan terbuka bahwa negara telah kehilangan kendali penuh atas sistem kurs dan moneter. Dolarisasi ini berhasil menghentikan hiperinflasi dan memulihkan sedikit stabilitas harga. Meskipun demikian Zimbabwe tidak mencetak mata uang sendiri, negara ini kehilangan alat kebijakan moneter dan bergantung sepenuhnya pada aliran dolar dari luar negeri, terutama dari ekspor dan remitansi diaspora.
Meskipun penggunaan dolar asing berhasil menenangkan ekonomi untuk sementara, kondisi ini juga menimbulkan keterbatasan besar. Kekurangan likuiditas menjadi masalah utama karena Zimbabwe tidak bisa mencetak dolar AS, peredaran uang menjadi sangat terbatas. Akibatnya transaksi ekonomi tersendat dan perbankan menghadapi krisis kepercayaan baru, untuk mengatasi ini pada tahun 2016 pemerintah Zimbabwe memperkenalkan bond notes semacam uang pengganti yang nilainya setara dengan USD, namun sebenarnya merupakan bentuk IOU dari bank sentral, kebijakan angina segar tersebutlah yang juga mengembalikan krisis kurs kembali bermula.
Pada awalannya bond notes diklaim memiliki nilai 1:1 terhadap dolar AS. Namun pasar dengan cepat menyadari bahwa bond notes tidak benar-benar didukung oleh cadangan dolar yang memadai. Nilai tukar bond notes pun mulai menurun di pasar gelap. Situasi ini menciptakan dualisme kurs yang mirip dengan masa hiperinflasi dimana kurs resmi tetap dijaga, tetapi kurs pasar menunjukkan realitas yang jauh berbeda. Ketika ketimpangan antara kurs resmi dan kurs pasar gelap semakin melebar kepercayaan publik kembali runtuh. Pada tahun 2019 Zimbabwe memutuskan untuk menghapus dolar AS dari sistem transaksi resmi dan mengembalikan mata uang lokal sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mata uang baru ini dikenal sebagai Zimbabwe Dollar (ZWL) versi keempat. Pemerintah juga memperkenalkan sistem kurs antarbank yang katanya berbasis pasar (interbank market), namun dalam praktiknya masih dikontrol ketat oleh otoritas moneter. Kegagalan masih menyelimuti tanah Zimbabwe, sistem ini gagal membangun kepercayaan. Kurs resmi ZWL terhadap USD terus tertinggal dari kurs pasar, dan nilai ZWL kembali merosot tajam. Ketika nilai tukar tidak mencerminkan kondisi pasar yang sesungguhnya, pelaku ekonomi mencari alternatif. Masyarakat mulai menimbun dolar AS, melakukan transaksi dalam mata uang asing secara diam-diam dan bahkan menggunakan sistem barter dalam beberapa kasus. Pasar gelap valuta asing tumbuh subur dan menjadi sumber utama penukaran mata uang. Hal ini menyebabkan distorsi besar dan merusak efektivitas kebijakan fiskal maupun moneter, ini semua adalah konsekuensi dari sistem kurs yang tidak kredibel.
Dalam konteks ekonomi moneter sistem kurs Zimbabwe menunjukkan bahwa kredibilitas jauh lebih penting daripada bentuk teknis sistem itu sendiri. Baik sistem kurs tetap maupun mengambang bisa berhasil jika dikelola dengan transparansi, disiplin fiskal, dan komunikasi yang jujur kepada publik. Sebaliknya sistem kurs akan gagal jika kebijakan yang diambil tidak konsisten dengan kenyataan ekonomi dan hanya didasarkan pada ilusi kendali. Dalam kasus Zimbabwe, setiap upaya untuk mengatur kurs secara sepihak tanpa dukungan kepercayaan publik dan cadangan devisa yang memadai berujung pada kegagalan.
Sampai penulisan artikel inipun Zimbabwe masih menghadapi tantangan besar dalam mengelola sistem kursnya. Pemerintah terus mengubah mekanisme nilai tukar, memperkenalkan sistem baru seperti kurs referensi pasar (willing-buyer willing-seller) untuk mendekati realitas pasar. Namun selama fundamental ekonomi seperti produksi, ekspor, dan stabilitas politik tidak diperbaiki, maka tidak ada sistem kurs yang benar-benar bisa berhasil. Inflasi yang masih tinggi dan ketergantungan pada mata uang asing tetap menjadi masalah utama. Kisah Zimbabwe bisa dijadikan cermin penting bagi negara-negara lain, terutama negara berkembang yang menghadapi tekanan ekonomi dan godaan untuk mencetak uang secara tidak hati-hati. Sistem kurs bukanlah sekadar angka di papan bank atau kebijakan bank sentral, tapi cerminan dari seberapa besar masyarakat mempercayai nilai uang yang mereka pegang. Ketika kepercayaan itu hilang, tak ada sistem kurs apa pun yang bisa menyelamatkan mata uang nasional dari kehancuran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun