Mohon tunggu...
Walentina Waluyanti
Walentina Waluyanti Mohon Tunggu... Penulis - Menulis dan berani mempertanggungjawabkan tulisan adalah kehormatan.

Penulis. Bermukim di Belanda. Website: Walentina Waluyanti ~~~~ Email: walentina.waluyanti@upcmail.nl ~~~ Youtube channel: Kiki's Mom

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Berbahasa Indonesia Baku Tak Harus Kaku

12 Oktober 2020   05:57 Diperbarui: 12 Oktober 2020   06:04 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua kelompok yang menulis di sosial media/blog. Kelompok pertama, yaitu mereka yang hanya ingin curhat, menyampaikannya dengan cara "mengetik". Mereka ini tidak memerlukan kaidah dan norma berbahasa. Cukuplah kalau orang sudah paham dengan curhatnya. Kelompok kedua, orang yang menggunakan sosmed sebagai sarana untuk menyampaikan ide dan pikirannya melalui tulisan. Kelompok ini memang bermaksud membuat tulisan. Sebagian besar dari mereka, kita sebut saja sebagai "blogger".

Dan kelompok "blogger" ini terbagi lagi ke dalam 3 bagian. Kelompok pertama, yaitu mereka  yang membuat tulisan dengan mematuhi kaidah dan norma berbahasa. Kelompok kedua, mereka bermaksud menyusun tulisan, tapi sengaja tidak ingin tunduk pada kaidah berbahasa. Kelompok ketiga, mereka ini suka menulis meskipun kurang didukung oleh keterampilan berbahasa. Kelompok ketiga ini tidak perlu dipermasalahkan. Karena selama ada kemauan untuk terus belajar, maka bisa saja keterampilan berbahasa itu semakin terasah.

Nah, yang sering dipermasalahkan adalah mereka yang memang suka menulis di blog, tapi sengaja tidak ingin mematuhi kaidah berbahasa. Alasannya bisa bermacam-macam. Di antaranya karena ingin bebas berekspresi. Siapa yang bisa melarang? Blog, blog sendiri. Jari yang mengetik, jari sendiri. Ini menyangkut masalah selera dan gaya berbahasa. Dan kalau sudah menyangkut masalah selera, ini adalah wilayah pribadi si penulis yang tak bisa diutak-atik oleh orang lain.

Tapi soal selera ini juga tidak harus jadi harga mati. Kadang-kadang hanya karena terlalu fanatik pada selera tertentu, bisa membatasi wilayah eksplorasi. Seperti kata Pablo Picasso, "Selera adalah musuh kreativitas".

Masalahnya adalah si kambing hitam. Bahasa Indonesia yang baik dan benar sering jadi kambing hitam, penyebab yang membuat tulisan jadi kaku. Ini dianggap penghalang bagi kebebasan berekspresi dalam menulis.

Pertanyaannya adalah betulkah bahasa Indonesia yang baik dan benar bisa menghalangi kebebasan berekspresi dalam menulis?

Sebetulnya bahasa sendiri adalah objek mati, yang bisa menjadi hidup setelah diolah dan dimanfaatkan oleh penggunanya. Dan penggunanya adalah "tuan" yang bisa menghidupkan bahasa itu menurut apa yang dikehendakinya. Kalau penggunanya itu bisa menghidupkan, mengolah dan memanfaatkannya dengan tepat, bahasa yang baku sekalipun bisa menjadi supel. Ini ibarat boneka Susan, yang hanya boneka mati kalau digeletakkan begitu saja. Tapi begitu disentuh oleh tuannya, yaitu Ria Enes, maka seketika boneka Susan ini seolah hidup.

Bahasa Indonesia bisa menjadi kaku atau tidak tergantung bagaimana kreativitas si penulis memberi tenaga dan "roh" ke dalam bahasa yang digunakannya. Umar Kayam (pemeran Bung Karno dalam film "Pengkhianatan G30S PKI), adalah sastrawan yang pernah mendapat Hadiah Sastra dari Horison (1967). Ia adalah sastrawan yang sangat piawai menggunakan bahasa untuk melukiskan perasaan, gerak, tingkah, hidup manusia sehari-hari secara halus dan cermat.

 Mengakali bagaimana berbahasa Indonesia dengan baik tanpa terkesan kaku, adalah tantangan. Tantangan yang bisa ditaklukkan. Caranya menaklukkan hanya dengan terus menulis. Tak perlu takut bikin kesalahan. Soal keterampilan berbahasa, adalah sesuatu yang bisa dilatih.

Jangan lupa, sejumlah sastrawan legendaris Indonesia bukanlah orang yang berpendidikan tinggi. Contohnya Pramoedya Ananta Toer. Dalam wawancara dengan jurnalis Belanda, ia mengaku tak sempat menyelesaikan pendidikan di MULO (setingkat SMP), karena kekacauam pada masa perang. Ia hanya sempat mengikuti kursus stenografi pada masa pendudukan Jepang. Begitu juga Buya Hamka yang meskipun bergelar profesor dan mendapat gelar doktor kehormatan, namun sebetulnya tak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Ia hanya menekuni keahliannya secara otodidak.

Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer, hanya contoh di antara para sastrawan lainnya yang mengasah kemampuan menulis, dengan berbekal penguasaan Bahasa Indonesia secara baik. Meskipun demikian karya mereka sama sekali jauh dari kesan kaku. Keuntungan dari penggunaan bahasa Indonesia yang baku dalam karya para sastrawan ini, membuat karya mereka menjadi karya klasik, tetap abadi, tak pudar oleh zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun