Mohon tunggu...
Wahyu Wibisana
Wahyu Wibisana Mohon Tunggu... Konsultan pr dan penulis freelance -

Penulis lepas dan konsultan PR

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Ride Sharing" Solusi Macet dan Kesempatan Berbagi Rejeki

7 November 2017   18:26 Diperbarui: 7 November 2017   23:12 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang namanya macet sudah bukan merupakan "barang langka" di Jakarta. Permasalahan ini sudah jadi momok kota tersibuk Indonesia ini, sejak 10 tahun terakhir. PErmasalahan macet pun seperti tak pernah punya solusi di mata warga Jakarta.

Dari satu gubernur ke gubernur yang lain, persoalan kemacetan ibu kota seperti "harta warisan" yang tak juga bisa teratasi. Ini jelas bukan salah gubernur Ibu Kota Negara Indonesia yang mana pun. Karena kalau mau jujur sejak awal, Jakarta sudah salah konsep. Loh kok salah konsep? Maksudnya?

Beberapa negara maju sudah sejak lama memisahkan antara ibu kota negara dan kota bisnis mereka, sehingga mereka bisa mengurai kemacetan secara lebih baik. Tapi kita di Indonesia tidak punya konsep seperti ini.

Buktinya, lihat saja "negara super power" Amerika Serikat yang telah memisahkan Ibu Kotanya Washington DC dengan kota bisnisnya di New York, atau tetangga kita Australia yang memisahkan Canberra sebagai Ibu Kota dengan Sidney sebagai kota bisnisnya. Itu pun mereka tetap harus mengeriyitkan dahi untuk mengatasi yang namanya masalah kemacetan ini.

Apalagi dengan kita yang Ibu Kotanya Jakarta dan kota bisnisnya juga Jakarta. Ya pasti kesibukan luar biasa akan dihadapi oleh warganya, karena mereka seperti berada dalam satu kota yang dihuni penduduk dua kota.

Selain faktor salah konsep ini, faktor lain penyebab kemacetan lainnya, ya tentu saja pertambahan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta yang berkembang secara luar biasa. Konon jumlah kenaikan kendaraan Jakarta mencapai angka 12 persen setiap tahunnya. Bahkan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya memperkirakan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta bertambah sebanyak 5.500 hingga 6.000 unit kendaraan per hari. Wow, sehari 5000 kendaraan, sebulan sudah bertambah 150.000 unit. Setahun sudah 1.800.000 unit. Dashyat bukan.

Coba kita perbandingkan dengan jumlah pertumbuhan jalan saat ini. Menurut catatan Polda Metro Jaya, pertambahan jumlah jalan per tahun hanya mencapai 0,01 persen dari jalan yang sudah ada. Coba kita lihat perbandingan lebih kongkrit. Pada tahun 2015 saja, Jakarta memiliki jalan sepanjang 6,86 juta kilometer (km). Artinya hingga tahun 2017 ini jalan Jakarta diperkirakan hanya bertambah 137. 200 kilometer saja (0,02 persen). Jadi perkiraan jalan Jakarta saat ini paling banyak hanya sekitar 7 juta km di tahun 2017.

Sementara dalam dua tahun Jakarta mengalami penambahan volume kendaraan sampai 3,6 juta. Itu baru volume kendaraan Jakarta, belum masuk mobil dan motor yang berasal dari daerah-daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Jadi jangan heran kalau sekarang Jakarta bisa macet 24 jam. Dan bukan tidak mungkin kalau kemudian Jakarta akan menjadi kota dengan tingkat kemacetan paling gila serta kita akan menghadapi masa-masa macet seperti yang diilustrasikan dalam tayangan ini.


Kondisi ini semakin "diperkeruh" dengan belum layaknya serta terbtasnya sarana dan prasarana kendaraan umum yang ada di Ibu Kota. Sehingga kemudian masyarakat lebih suka menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum. Jadi sehebat apa pun promo pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta agar warga menggunakan kendaraan umum, warganya akan tetap "cuek bebek" karena tak nyamannya kendaraan umum yang dipromosikan.

"Ride Sharing" Jadi Solusi

Beruntung dengan adanya kemajuan zaman saat ini, membuat manusia berpikir sendiri untuk menghadapi masalah kemacetan yang terjadi di Jakarta. Bagi warga di luar Ibu Kota seperti Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor yang bekerja dan mencari rejeki di Jakarta macam saya, memanfaatkan kereta api rel listrik (KRL) Commuter Line sebagai alternatif sudah dilakukan sejak lama. Selain cepat, penggunaan Commuter Line juga dapat menghemat biaya dan kita tidak perlu lelah menyetir kendaraan kita sampai tujuan.

Bahkan kalau kita beruntung, kita bisa tidur dengan nyaman dalam gerbong kereta berAC. Namun kehadiran Commuter Line ini juga tetap memiliki kendala, karena ketika kita sampai di statsiun tujuan dan hendak melanjutkan perjalanan ke tempat kerja yang tak terjangkau kereta api ini, kita "terpaksa" harus berebutan angkot atau ojek. Saling desak, saling sikut untuk cepat-cepat bisa berangkat dengan armada yang tersedia juga jadi pemandangan kita sehari-hari.

Beruntung dengan adanya perkembangan teknologi informasi (TI) telah membuat sejumlah pengusaha mulai mengembangkan ojek atau taksi yang berbasis aplikasi/online. Dengan adanya aplikasi ojek online semacam ini telah mengenalkan masyarakat pada sebuah kebiasaan baru yang kita kenal sebagai Ride Sharing.

Apa itu Ride Sharing? Istilah Ride Sharing agaknya memang terdengar asing di telinga kita, tapi sebenarnya konsep ini dari dulu juga sering kita gunakan dalam bahasa slanksehari-hari yakni "nebeng". Dulu kita kerap berkata kepada kawan yang menggunakan kendaraan yang kebetulan searah dengan mengatakan, "Gue nebeng dong!"

Konsep ini juga yang kemudian lewat aplikasi berbasis online ini mulai dipraktekkan oleh perusahaan transportasi berbasis online macam UBER dan sebagainya. Kendaraan yang digunakan untuk bisnis ride sharing ini pun bisa kendaraan roda dua maupun dan roda empat sesuai keinginan kita yang ingin nebeng. Hanya saja "nebeng" lewat aplikasi ini tak sama seperti kita nebeng dengan teman, kita tetap harus membayar sejumlah harga seperti juga ketika kita naik angkot atau ojek konvensional. Hanya saja, tentu biayanya lebih murah dari kendaraan umum konvensional.

Ketika beberapa kawan memperkenalkan "gaya nebeng baru" ini, saya sempat kebingungan juga. Apalagi ketika baru kali pertama menggunakan. Namun karena dalam nebeng gaya baru ini kita sudah tahu berapa harga yang harus kita bayar tanpa tawar menawar lagi dengan si tukang ojek, lama kelamaan saya ketagihan juga menggunakan layanan ini. Kalu sedang dikejar waktu, biasanya saya menggunakan ojek motornya dan jika sedang santai dan agak jauh saya lebih memilih duduk manis di belakang sopir sampai ke tempat yang menjadi tujuan saya.

Dan jika paling tidak ada 5000 - 10.000 orang kemudian memilih menggunakan fasilitas kereta api atau busway dan kemudian menyambungnya dengan fasilitas ojek berbasis aplikasi seperti saya, paling tidak akan sedikit mengurangi volume kendaraan yang membanjiri Kota Jakarta ini. Jadi mari sekarang tularkan kebiasaan Ride Sharing ini kepada teman-teman Anda. Selain mengurangi kemacetan, Anda juga sudah memberikan peluang usaha kepada orang lain. Selamat mencoba.()

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun