Pelajaran penting bagi Indonesia adalah bonus demografi tidak otomatis menjadi keuntungan, tetapi harus dikelola dengan strategi. Saat ini, lebih dari 69% penduduk Indonesia adalah usia produktif (15--64 tahun) (BPS, 2023). Jika diarahkan ke sektor yang berkelanjutan seperti energi terbarukan, pertanian modern, dan ekonomi digital, bonus demografi dapat menjadi bonus ekologi.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa potensi ini juga menghadapi tantangan ketimpangan digital, urbanisasi, dan migrasi tenaga kerja terampil, yang dapat memperdalam kesenjangan sosial jika tidak diantisipasi (Al Waroi, Subroto, & Supriyadi, 2025).
Untuk itu, strategi pembangunan perlu mengintegrasikan model bisnis berkelanjutan yang menggabungkan faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi melalui pemanfaatan inovasi teknologi dan digitalisasi (Kovalchuk, 2025). Selain itu, literatur global menegaskan bahwa transisi menuju energi terbarukan harus disertai dengan inklusi keuangan, penguatan infrastruktur, dan kebijakan hijau yang mendukung transformasi ekonomi rendah karbon (Li & Ayub, 2025; Manta et al., 2025).
Dengan demikian, keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi sangat bergantung pada bagaimana pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil berkolaborasi mengarahkan tenaga produktif ke sektor-sektor strategis berbasis keberlanjutan. Agar bonus demografi dapat menjadi bonus ekologi.
Namun, refleksi sejarah Indonesia menunjukkan risiko besar. Pada era Orde Baru, pertumbuhan ekonomi memang tinggi (7% per tahun pada 1970--1996), tetapi sangat bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam, terutama minyak dan hutan.
Akibatnya, saat harga minyak jatuh pada 1980-an dan krisis 1998 terjadi, Indonesia mengalami kerentanan ekonomi yang parah (Hill, 1996). Kesalahan serupa tidak boleh terulang di 2045. Peta jalan menuju Indonesia Emas harus mengubah orientasi pembangunan dari ekstraktif menjadi berbasis hijau dan berkelanjutan.
Etika Digital & AI: Belajar dari Uni Eropa
Era digital menghadirkan peluang baru bagi Indonesia. Menurut laporan Google, Temasek, dan Bain (2022), ekonomi digital Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan nilai US$77 miliar pada 2022, dan diprediksi mencapai US$130 miliar pada 2025. Namun, di balik peluang tersebut terdapat ancaman serius, mulai dari dominasi Big Tech, polarisasi politik akibat algoritma media sosial, hingga risiko penyalahgunaan data pribadi.
Pengalaman Uni Eropa memberikan pelajaran berharga. Melalui regulasi General Data Protection Regulation (GDPR) yang berlaku sejak 2018, UE berhasil menetapkan standar global tentang perlindungan data berbasis hak asasi manusia. Kini, UE juga memimpin regulasi AI melalui EU AI Act (2023), yang menekankan trustworthy AI dengan prinsip transparansi, keamanan, dan non-diskriminasi (European Commission, 2023).
Indonesia dapat belajar dari hal ini. Alih-alih hanya menjadi pasar teknologi asing, Indonesia perlu membangun kedaulatan data melalui infrastruktur cloud atau edge cloud nasional (Prakash, 2025), regulasi perlindungan data pribadi seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDPL) No. 27 Tahun 2022 (Securiti AI, 2025), serta riset AI berbasis nilai Pancasila dan etika digital (IBM Center, 2024).
Misalnya, prinsip musyawarah mufakat dapat menjadi landasan desain algoritma yang inklusif dan tidak memecah belah, sementara sila ke-5 (keadilan sosial) dapat diterjemahkan dalam regulasi platform digital yang mendukung UMKM dan pekerja digital, sejalan dengan visi pembangunan ekonomi digital yang adil melalui pengembangan AI yang terpercaya dan inklusif (IBM Center, 2024; Rujitoningtyas et al., 2025).